BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alquran
adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung
petunjuk-petunjuk bagi umat manusia. Alquran diturunkan untuk menjadi pegangan
bagi mereka yang ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia tidak
diturunkan hanya untuk suatu umat atau untuk suatu abad, tetapi untuk umat
manusia dan untuk sepanjang masa, karena itu luas ajaran-ajarannya adalah sama
dengan luasnya umat manusia. Di dalam alquran terkumpul wahyu ilahi yang
menjadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi siapa yang mencapai serta
mengamalkannya.
Salah
satu isi dari firman Allah adalah tentang anjuran kepada umat manusia untuk
memakan makanan yang halal lagi baik (thayyib), serta memakan makanan yang
haram lagi membahayakan. Segala sesuatu yang ada di bumi ini adalah halal
dimakan agar mencukupi kebutuhan hidup manusia kecuali ada beberapa jenis yang
diharamkan oleh agama sebagaimana yang tercantum di dalam alquran dan hadis
Nabi.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Penafsiran Ulama Terhadap Surat al-Baqarah ayat 172-173?
2.
Bagaimana
Hukumnya Makanan dalam Alquran?
C. Tujuan
1.
Untuk
Mendeskripsikan Penjelasan Ulama Terhadap Surat al-Baqarah ayat 172-173.
2.
Untuk
Menjelaskan Hukum-Hukum mengenai Makanan yang ada dalam Alquran.
BAB
II
PENAFSIRAN SURAT AL BAQARAH AYAT 172-173
A. Surat al-Baqarah AYAT 172-173
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (۱٧۲) إِنَّمَا حَرَّمَ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ
لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (۱٧۳)
Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya
kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[1]
B. Makna Mufradat (Kosakata Sulit)
غَيْرَ بَاغٍ :Tidak menghalalkannya (menurut Said
Ibnu Jubair), sedang menurut Assadi غَيْرَ بَاغٍ
bermakna bukan karena memperturutkan
selera ingin memakannya.[3]
وَلا
عَادٍ : Tidak boleh melampaui batas dalam
memakannya bila telah menemukan yang halal. Menurut Ibnu Abbas وَلا عَادٍ bermakna tidak boleh sekenyangnya, sedangkan
Assadi berpendapat bahwa makna وَلا عَادٍ
sama dengan al-‘udwan yang bermakna melampaui batas.[4]
C. Asbabun Nuzul
Penjelasan tentang makanan-makanan yang diharamkan
tersebut dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat Jahiliyah, baik di Mekkah
maupun di Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan
binatang yang mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih atau
dicabut nyawanya oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut sendiri
nyawanya oleh Allah? Penjelasan tentang keburukan ini dilanjutkan dengan uraian
ulang tentang mereka yang menyembunyikan kebenaran, baik menyangkut kebenaran
Nabi Muhammad, urusan kiblat, haji dan umroh, maupun menyembunyikan atau akan
menyembunyikan tuntunan Allah menyangkut makanan.Orang-orang Yahudi misalnya, menghalalkan
hasil suap, orang-orang Nasrani membenarkan sedikit minuman keras, kendati
dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit dari mereka yang meminumnya dengan
banyak.[5]
D. Munasabah
Seperti penegasan pada ayat-ayat alquran bahwa Allah
adalah Tuhan Yang Satu, Dialah pencipta alam semesta ini, juga telah dijelaskan
siapa saja yang mengambil Tuhan selain Allah maka dia akan mendapat balasannya
yang setimpal. Dan pada ayat sebelumnya menjelaskan bahwa Allah adalah pemberi
rezeki kepada manusia dan makhluk yang lain, sekaligus Allah menerangkan mana
makanan yang halal dan mana yang haram.
Allah juga
membolehkan manusia seluruhnya memakan makanan yang telah diberikan Allah di
bumi ini, yang halal dan yang baik saja, serta meninggalkan yang haram, sebab
yang haram itu sudah jelas. Juga agar manusia tidak mengikuti langkah-langkah
setan, dalam hal makanan, sebab setan itu adalah musuh mereka. Oleh sebab itu,
setan tidak pernah menyuruh kepada kebaikan. Bahkan dia hanya menyuruh kepada
kejelekan. Dan setan itu juga menyuruh manusia agar menghalalkan atau
mengharamkan sesuatu sesuai dengan kehendak manusia tanpa perintah dari Allah.
Bahkan menyuruh manusia agar mengatakan bahwa itu adalah syariat Allah,
sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan musyrikin Quraisy.
Dalam al-Baqarah 168-169 dikatakan makanan yang
diperbolehkan atau yang halal dari apa-apa yang terdapat di bumi kecuali yang
sedikit yang dilarang karena berkaitan dengan hal-hal yang membahayakan dan
telah ditegaskan dalam nash syara’ adalah terkait dengan akidah, sekaligus
bersesuaian dengan fitrah alam dan fitrah manusia. Allah menciptakan apa-apa
yang ada di bumi bagi manusia. Oleh sebab itu, Allah menghalalkan apa yang ada
di bumi, tanpa ada pembatasan tentang yang halal ini, kecuali masalah khusus
yang berbahaya. Dan apabila yang di bumi ini tidak dihalalkan maka hal ini
melampaui daerah keseimbangan dan tujuan diciptakannya bumi untuk manusia.
Pada ayat ini selanjutnya ditujukan kepada kaum muslimin
saja supaya menikmati rezeki Allah yang bermanfaat dan diarahkannya untuk
mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Serta dijelaskan kepada mereka apa yang
diharamkan atas mereka, yaitu apa-apa yang tidak baik dan tidak dihalalkan bagi
mereka. Kemudian diancamnya orang-orang Yahudi yang menyanggah mereka mengenai
makan yang baik-baik dan yang haram ini, yang semuanya sudah termaktub dalam
kitab mereka.
Pelarangan tentang akan sesuatu yang tidak baik ini bukan
karena Allah menginginkan agar mereka mengalami kesulitan dan kesempitan
mencari rezeki, sebab Allah sendirilah yang melimpahkan rezeki kepada mereka.
Allah menginginkan mereka agar sebagai hamba bisa mensyukuri apa-apa yang bersal
dari Allah dan agar mereka betul-betul beribadah semata-mata kepada Allah tanpa
ada penyekutuan. Maka Allah mewahyukan kepada mereka bahwa syukur itu adalah
termanifestasikan dengan ibadah dan taat serta ridha dengan apa-apa yang dari
Allah (al-baqarah 172).
Kemudian Allah melanjutkan penjelasan tentang apa-apa
yang diharamkan dari makanan dengan suatu bentuk nash yang di batasi dengan
penggunaan a’atul qashri perangkat pembatasan yakni “innamaa”, yaitu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut suatu (nama)
selain Allah.[6]
E. Pengertian Makanan
Kata
makanan berasal dari lafazh الأطعمة . Kata الأطعمة adalah bentuk jamak dari kata الطعام.[7] Menurut bahasa adalah perkara yang dapat
dimakan dan segala perkara yang dijadikan untuk kekuatan.[8]
Makanan
dalam bahasa al-Qur’an menggunakan kata اكل dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada
aktifitas makan. Tetapi kata tersebut tidak digunakan semata-mata dalam
arti “memasukkan sesuatu ke dalam tenggorokan”, tetapi ia berarti juga segala
aktivitas dan usaha.[9]
Misalnya dalam surat an-Nisa’ ayat 4:
وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Di
dalam ayat tersebut kata makan digunakan untuk maskawin dan diketahui
oleh semua pihak bahwa maskawin tidak harus bahkan tidak lazim berupa makanan.
Allah berfirman dalam Surat al-An’am: 121
وَلا
تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
Dan
janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya.
Penggalan
ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud mantan Pemimpin Tertinggi
Al-Azhar sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apapun yang tidak disertai
nama Allah. Ini disebabkan karena kata makan di sini dipahami dalam arti
luas yakni segala bentuk aktivitas. Penggunaan kata tersebut untuk arti
aktivitas, seakan-akan menyatakan bahwa aktivitas membutuhkan kalori, dan
kalori diperoleh melalui makanan.[10]
F.
MACAM-MACAM
MAKANAN
1.
Makanan Halal
Kata halal berasal dari akar kata
halla yang berarti lepas atau tidak terikat. Sesuatu yang
halal adalah yang terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi, karena itu
kata halal juga berarti boleh. Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup segala
sesuatu yang dibolehkan agama, baik kebolehan itu bersifat sunnah (aturan untuk
dilakukan), makruh (anjuran untuk ditinggalkan), maupun mubah
(netral/boleh-boleh saja). Karena itu boleh jadi ada sesuatu hal, tetapi tidak
dianjurkan atau dengan kata lain hukumnya makruh.[11]
Makanan halal
adalah makanan yang tidak haram, yakni yang tidak dilarang oleh agama, namun
tidak semua makanan yang halal otomatis baik. Makanan yang baik ialah
makanan yang dibenarkan untuk dimakan oleh ilmu kesehatan. Makanan yang
halal lagi baik inilah yang diperintahkan oleh Allah untuk memakannya.
Makanan yang dibenarkan oleh ilmu kesehatan sangat banyak dan pada dasarnya
dibolehkan memakannya.
Makanan yang baik-baik tidaklah
diharamkan memakannya kecuali bilamana Allah dan RasulNya mengharamkan. Tiap
orang mukmin hendaknya mentaati ketentuan-ketentuan Allah jika benar-benar
menyembahNya, dia harus mentaati perintah dan menjauhi laranganNya.
Adapun pendapat para fuqaha’ tentang
binatang yang boleh dimakan, mereka berpendapat, bahwa binatang tersebut
dihubungkan dengan sembelihan syara’ ada 3 macam: binatang air, binatang darat
serta binatang amfibi.
a)
Adapun binatang
air: binatang yang tidak bisa hidup di darat kecuali hanya di air. Dalam hal
ini ada 2 pendapat
· Pendapat
Hanafiyah: seluruh binatang yang ada di air itu haram dimakan kecuali ikan.
Ikan itu halal tanpa disembelih kecuali jika mengapung di air.
· Pendapat
jumhur selain Hanafiyah: binatang air seperti ikan, kepiting, ular air, anjing
laut halal tanpa disembelih. Jika binatang tersebut mati dengan sendirinya atau
dlohir seperti terhantam karang, mati akibat dibunuh, atau mati karena surut
airnya, baik bergerak atau tidak ambillah dan sembelihlah. Namun jika ikan
tersebut mati karena sakit atau diracun maka ikan tersebut haram karena
membahayak.
b)
Binatang darat:
binatang yang tidak bisa hidup kecuali di daratan. Binatang tersebut ada 3
macam:
· Binatang
yang tidak mempunyai darah, seperti belalang, lalat, jankrik, tawon, semut,
kalajengking serta serangga yang berbisa tidak halal kecuali hanya belalang,
karena selain belalang binatang tersebut sangat menjijikkan.
· Binatang
yang tidak mempunyai darah yang mengalir, seperti ular yang tidak berbisa,
seluruh binatang-binatang kecil, hama tanah, baik berupa tikus, landak, tupai,
ataupun biawak. Binatang tersebut diharamkan karena termasuk binatang yang
kotor dan beracun.
· Binatang
yang mempunyai darah mengalir, baik jinak maupun liar. Adapun binatang jinak
yang dihalalkan seperti unta, sapi, dan kambing.
c)
Binatang amfibi:
binatang yang bisa hidup di air maupun di laut secara bersamaan seperti katak,
kura-kura, kepiting, ular, air, buaya, anjing laut. Dalam hal ini ada 3
pendapat:
· Pendapat
Hanafiyah dan Syafi’iyah bahwa binatang tersebut hukumnya haram dimakan karena
tergolong binatang kotor apalagi ular.
· Pendapat
Malikiyah memperbolehkan makan katak dan sejenisnya, karena tidak ada nash
dalam alquran yang mengharamkannya.
· Pendapat
Hanabilah dalam hal ini merinci lebih lanjut bahwa tiap-tiap binatang yang
hidup di darat dan di laut tidak halal, kecuali bila disembelih, seperti anjing
laut, ular laut dan sejenisnya, kecuali kepiting karena tidak mempunyai darah
sehingga boleh dimakan tanpa disembelih.
2.
Makanan Haram
Sebagai lawan dari halal adalah haram,
yaitu sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’. Makanan yang
haram itu berakibat terhalangnya doa kita sekaligus dapat menggelapkan hati
kita untuk cenderung kepada hal-hal yang baik, bahkan dapat mencampakkan diri
ke dalam neraka.
Setelah Allah menjelaskan
makanan-makanan yang baik, kemudian Allah menjelaskan beberapa makanan yang
diharamkan.
Adapun binatang yang diharamkan untuk
dikonsumsi oleh kaum muslimin dapat digolongkan menjadi 6 bagian:
a)
Bangkai, darah,
daging babi, binatang yang disembelih dengan tidak disebut nama Allah.
b)
Semua binatang
yang dapat hidup lama di dua alam, seperti buaya, katak, penyu, dan sebagainya.
c)
Binatang yang
bertaring kuat, seperti harimau, anjing, srigala, kucing, kera dan sebagainya.
d)
Binatang yang
mempunyai kuku tajam, seperti burung elang, burung garuda, burung kakak tua,
nuri, rajawali dan sebagainya.
e)
Binatang yang
diperintahkan untuk dibunuh, misalnya ular, anjing galak, kalajengking, burung
elang, dan sebagainya.
f)
Binatang yang
dilarang dibunuh, seperti semut, tawon dan burung hud-hud.[12]
G.
Penafsiran
Syukur adalah mengakui dengan tulus bahwa anugerah yang
diperoleh semata-mata bersumber dari Allah sambil menggunakannya sesuai tujuan
penganugerahannya, atau menempatkannya pada tempat semestinya.[13]
Di
dalam ayat ini, khitab Allah ditujukan kepada orang-orang yang beriman
secara khusus. Mereka ini akan lebih sensitif pemahamannya, disamping bias
menerima hidayah. Karenanya, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman
agar memakan barang-barang yang halal dan bersyukur kepada Allah atas karunia
yang dilimpahkan kepada mereka. Kemudian Allah menjelaskan makanan yang
diharamkan. Sebagaimana pemberitahuan, bahwa makanan yang diharamkan itu
berjumlah sedikit, dan kebanyakan makanan yang merupakan ciptaan Allah itu
dihalalkan.[14]
Allah
telah menyeru orang-orang yang beriman agar menerima hukum syariat Allah, juga
agar mengambil apa yang halal dan meninggalkan yang haram. Dan, Allah
mengingatkan kepada mereka bahwa Dia sematalah pemberi rezeki dan membolehkan
kepada mereka memanfaatkan makanan-makanan yang baik dari apa yang telah Dia
rezekikan. Maka, Allah memberitahu mereka bahwa Dia tidak melarang untuk
mengambil yang baik dari rezeki itu dan Allah melarang hambaNya agar
meninggalkan sesuatu yang tidak baik dari rezeki itu.
Pelarangan
ini bukan karena Allah menginginkan agar mereka mengalami kesulitan dan
kesempitan dalam mencari rezeki, tetapi agar mereka sebagai hamba bisa
mensyukuri apa-apa yang berasal dari Allah dan agar mereka bias betul-betul
beribadah semata-mata karena Allah tanpa ada penyekutuan.
Kemudian,
Allah melanjutkan penjelasan tentang apa-apa yang diharamkan dari makanan
dengan suatu bentuk nash yang dibatasi dengan penggunaan adatul qashri (perangkat
pembatasan) yakni “innamaa”
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ
بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.[15]
a)
Bangkai ialah nama binatang yang mati, bukan karena
disembelih secara syara’. Terkadang bangkai itu binatang yang mati dengan
sendirinya bukan sebab manusia. Meskipun juga terkadang karena ulah manusia
tetapi tidak melalui penyembelihan yang disyari’atkan.
Yang dimaksud
haramnya bangkai hanyalah soal memakannya. Adapun memanfaatkan kulit, tanduk,
tulang atau rambutnya tidaklah terlarang. Rasulullah SAW bersabda:
هَلَّا أَخَذْتُمْ
إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ؟ فَقَالُوا: إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ:
إِنَّمَا حَرَّمَ أَكْلَهَا
“mengapa tidak kamu ambil kulitnya, kemudian kamu samak dan
memanfaatkan? Para sahabat menjawab, itu kan bangkai. Maka jawab Rasulullah,
yang diharamkan itu hanyalah memakannya.”
Hadis tersebut
menjelaskan bahwa menyamak kulit itu sama dengan menyembelih untuk menjadikan
kulit itu menjadi halal.[16]
b)
Darah yang mengalir sangat berbahaya, sebab darah itu
kotor atau mengandung penyakit, sehingga pengharaman darah itu didasarkan pada
kotornya darah atau mengandung penyakit.
c)
Daging babi yaitu seluruh yang dapat dimakan daripada
tubuh babi, baik daging, lemak, ataupun tulangnya yang dicincang bersama
dagingnya.[17]
Belakangan ini ada orang-orang yang memperdebatkan keharamannya. Mereka
berpendapat cacing pita yang amat berbahaya, yang menurut penelitian memang
terdapat di dalam daging babi kini oleh kemajuan ilmiah telah dapat
dihilangkan. Oleh sebab itu, babi tidak lagi haram. Demikianlah pendapat
mereka.
Bukan
merupakan suatu hal yang mustahil kalau masih terkandung bahaya-bahaya lain
yang belum ditemukan di dalam babi. Maka, sudah sepatutnya kita memisahkan diri
dari pendapat yang sesat dan kita beralih menuju kepada pendapat yang benar.
Serta, kita mengharamkan apa yang diharamkan dan menghalalkan apa yang
dihalalkan oleh Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
d)
Adapun keharaman suatu yang disembelih sambil menyebutkan
nama selain Allah, tidaklah ini diharamkan karena zatnya tetapi disebabkan oleh
ketidaktulusan jiwa dan tidak adanya kebulatan tujuan, maka zat tersebut
tergolong kepada yang najis dan menyekutukan Allah.[18]
اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ) ( barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, maka memakan
hal-hal yang telah Allah haramkan – karena memang sudah tidak ada pilihan lain,
dan jika tidak memakan barang tersebut akan mendapatkan kesukaran, bahkan kematian
– maka hal itu dibolehkan. Tetapi dengan syarat,
tidak menginginkan dan tidak melebihi kebutuhan yang selayaknya. [19]
sebenarnya mereka tidak ingin makan makanan yang diharamkan tetapi hanya
sekedar untuk menyelamatkan jiwanya. Adapun memakan yang lebih dari itu hukumnya
tetap haram. Ini kehendak Allah dan Allah tidak memberatkan seorang hamba lebih
dari pada kesanggupannya.[20]
Abdullah bin Amr r.a. mengatakan, bahwa Rasulullah SAW pernah
ditanya tentang buah yang tergantung di pohon. Jawab Nabi SAW:” siapa yang
makan daripadanya hanya karena lapar tanpa tujuan menyimpannya, maka tiada dosa
dan tuntutan baginya.”
Masruq berpendapat, bahwa orang yang terpaksa kemudian ia bertahan
tidak makan dan tidak minum, lalu ia mati, maka ia bisa masuk neraka. Menurut
pendapat ini berarti makan bangkai bagi orang yang terpaksa hukumnya wajib dan
bukan mubah.[21]
BAB
III
Penutup
Simpulan
Kata makanan berasal dari lafazh الأطعمة
. Kata الأطعمة
adalah bentuk jamak dari kata الطعام. Menurut bahasa adalah
perkara yang dapat dimakan dan segala perkara yang dijadikan untuk kekuatan.
Makanan
dalam bahasa al-Qur’an menggunakan kata اكل
dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktifitas makan. Tetapi
kata tersebut tidak digunakan semata-mata dalam arti “memasukkan sesuatu ke
dalam tenggorokan”, tetapi ia berarti juga segala aktivitas dan usaha.
Makanan
halal adalah makanan yang tidak haram, yakni yang tidak
dilarang oleh agama, namun tidak semua makanan yang halal otomatis baik. Makanan
yang baik ialah makanan yang dibenarkan untuk dimakan oleh ilmu kesehatan. Makanan
yang halal lagi baik inilah yang diperintahkan oleh Allah untuk memakannya.
Makanan yang dibenarkan oleh ilmu kesehatan sangat banyak dan pada dasarnya
dibolehkan memakannya.
Sebagai
lawan dari halal adalah haram, yaitu sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang
oleh syara’. Makanan yang haram itu berakibat terhalangnya doa kita sekaligus
dapat menggelapkan hati kita untuk cenderung kepada hal-hal yang baik, bahkan
dapat mencampakkan diri ke dalam neraka.
DAFTAR
PUSTAKA
A.W.
Munawwir, Kamus al-munawwir (Yogyakarta: PT. Pustaka Progresif, 2002)
Bahreisy, Salim Bahreisy dan Said. 2002. Terjemah
Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Hadi, Abu Sari’
Muhammad Abu. 1997. Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Pandangan Islam. Jakarta
Pusat: Tragenda karya.
Hamka. 2004. Tafsir al-Azhar, juz 2.
Jakarta: Pustaka Panjimas.
ad-Dimasqy,
Ibnu Kasir. 2004. Tafsir Ibnu Kasir Juz II. Sinar Baru Algesindo.
as-Suyuti, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam
Jalaluddin. 2011. Tafsir Jalalain. Bandung: sinar Bara Algesindo.
Kementrian Agama RI. 2011. Al-Qur’an
& Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya.
Mahmudiyah, Lindayati. 2006.
Makanan Menurut Al-Qur’an. Skripsi: IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Mustafa, Ahmad. 1993. Al Maragi. Semarang: PT
Karya Toha Putra.
Quthb, Sayyid. 2000. Tafsir Fi Dzilalil-Qur’an, Juz 1.
Jakarta: Gema Insani.
Shihab,
M. Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an. Bandung: PT Mizan.
…………………….. 2002. Tafsir
al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran vol.I. Jakarta: Lentera Hati.
[2] Imam Jalaluddin
al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain (Bandung:
sinar Bara Algesindo), 87.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran
vol.I, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 386.
[8] Abu Sari’
Muhammad Abu Hadi, Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Pandangan Islam (Jakarta
Pusat: Tragenda Karya, 1997), 18.
[10] Lindayati
Mahmudiyah, Makanan Menurut Al-Qur’an (Skripsi: IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2006), 18-20.
[21] Salim Bahreisy
dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 2002), 323.
mas su'ud, ikut ngopy ya.. bagus, jazaakumullah khairan, aamiin
BalasHapus