TAFSIR AL MUNIR AGH. DAUD ISMAIL
A. Biografi Singkat AGH. Daud Ismail
Tanggal 30 Desember 1908 di Cenrana, Soppeng
lahir seorang bayi berjenis kelamin laki-laki dari pasangan Haji Ismail bin
Baco Poso dengan isterinya Hajah Pompola binti Latalibe. Pasangan suami isteri
tersebut memberi nama bayinya Daud, sehingga kalau nama tersebut dilengkapi
dengan nama ayahnya, maka bayi tersebut bernama lengkap Daud Ismail. Kedua orangtuanya
merupakan orang yang terpandang dan tokoh masyarakat di daerah ini. Ayahnya
dikenal sebagai Khatib dan Parewa Syara, di distrik Soppeng dengan panggilan
akrabnya Katte’ Maila (Ismail). Selain itu Haji Ismail juga dikenal sebagai
guru mengaji Alquran di desa Cenrana disela-sela pekerjaannya sebagai seorang
petani. Oleh karena itu,
maka tidak aneh bila kedua orangtuanya sangat
mendambakan anak lelaki satusatunyaitu kelak menjadi seorang panrita (ulama).
Gurutta Haji Daud Ismail adalah anak bungsu
dan satu-satunya laki-laki dari sebelas bersaudara. Gurutta Haji Daud Ismail
tiga kali menikah yaitu pertama mengawini Hajah Marellung pada tahun tahun
1932. Dari perkawinannya Hajah Marellung, Gurutta Haji Daud Ismail memperoleh
dua orang putera yaitu Haji Ahmad Daud dan Kyai Haji M. Basri Daud, Lc.
Kemudian Gurutta Haji Daud Ismail menikah
kedua kalinya dengan Hajah Salehah setelah istri pertamanya meninggal dunia.
Pada perkawinannya yang kedua ini beliau tidak dikaruniai anak seorangpun. Pada
tahun 1942, Gurutta Haji Daud Ismail kembali melangsungkan pernikahannya yang
ketiga dengan Hajah Farida hingga beliau wafat pada tanggal 21 Agustus 2006 M
bertepatan dengan tanggal 28 Rajab 1427 Hijrah dalam usia 98 tahun.
Hasil pernikahannya yang ketiga ini beliau
dikaruniai tiga orang anak masing-masing yaitu Hajah Syamsul Huda, Hajah Nur
Inayah Daud, SH, dan Drs. H.M. Rusydi Daud. Anak-anak yang lahir dari ketiga
istrinya sebanyak lima orang, tiga laki-laki dan dua perempuan, yang masih
hidup sampai sekarang tinggal dua orang, anak dari isteri ketiganya. AGH. Daud
Ismail memiliki banyak guru. Antara tahun 1930–1942 beliau berguru pada Gurutta
Kyai Haji Muhammad As’ad di Sengkang, seorang ulama Bugis kelahiran Makkah Al
Mukarramah.[1]
Menurut penuturan Prof. Dr. H. Mappanganro MA,
salah seorang murid Gurutta Haji Daud Ismail sebagaimana dikutip oleh Masalim
Katu mengungkapkan bahwa terdapat beberapa orang murid Gurutta Sade yang kemudian
menjadi ulama besar di Sulawesi Selatan dengan keahlian dan spesifikasi ilmu
agama Islam yang berbeda-beda.
Ulama-ulama yang dimaksud antara lain adalah
pertama, AGH. Daud Ismail, ulama yang ahli dalam bidang Ilmu Hadits dan Tafsir.
Beliau juga dikenal sebagai pemimpin dan pendiri Yayasan Perguruan Islam Beowe
(YASRIB) di Soppeng, kedua, AGH. Abdurrahman Ambo Dalle, ahli dalam bidang Ilmu
Tauhid pemimpin Pondok Pesantren Darud Dakwah wal Irsyad (DDI) di Kabalangang Pinrang
dan Pare-Pare, ketiga, AGH. Abd. Muin Yusuf, pemimpin Pondok Pesantren Al
Urwatul Wutsqa di Sidrap ahli dalam bidang Dakwah Islamiyah, keempat, AGH. M.
Yunus Maratan, ahli dalam bidang Ilmu Fiqhi yang kemudian beliau dipercaya
untuk memimpin Pondok Pesantren As’adiyah di Wajo setelah periode kepemimpinan
AGH. Daud Ismail, kelima, AGH. M. Abduh Pabbaja di Pare-Pare ahli dalam bidang
Bahasa Arab sehingga beliau memperoleh sebutan sebagai Munjid berjalan (Kamus
Besar Bahasa Arab yang diambil dari nama penyusunnya), dan keenam, AGH. M.
Junaid Ismail di Bone sebagai seorang hufadz atau penghafal Alquran.
AGH.Daud Ismail dalam mengembangkan syiar
Islam dengan berbagai macam cara antara lain selain dakwah bil lisan yaitu
dengan memberikan ceramah-ceramah agama pada masyarakat, baik melalui jalur
pendidikan formal maupun semi formal yaitu dengan mendirikan pondok pesantren.
Selain itu, beliau juga menempuh jalur struktural birokratis pemerintahan baik
sewaktu beliau masih berkedudukan sebagai pegawai negeri sipil maupun sewaktu
beliau menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Kabupaten Soppeng. Penyebaran dan pengembangan
syiar Islam juga beliau salurkan melalui tulisan-tulisan yang beliau hasilkan.[2]
B. Karya-Karya Daud Ismail
Di antara karya-karya
AGH. Daud Ismail yang berupa tulisan berbentuk lembaran-lembaran, brosur-brosur
serta kitab-kitab yang beliau susun banyak yang telah dicetak dan diterbitkan
untuk dipublikasikan kepada masyarakat. Diantara karya-karya beliau adalah:
1) Kitab Tafsir Al Munir terdiri atas 30 Juz. Kitab Tafsir ini di tulis dalam bahasa Bugis dan telah di cetak dan diplikasikan kepada masyarakat;
2) Riwayat Hidup AG. Kyai Haji Muhammad As’ad (Gurutta Sade) yang ditulis
dalam tiga bahasa yaitu Bahasa Bugis, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Arab;
3) Pengetahuan Dasar Islam terdiri atas 3 jilid;
4) Hukum Puasa;
5) Hukum Shalat;
6) Hukum Nikah;
7) Kumpulan Khutbah Jumat;
8) Kumpulan Doa-Doa; dan
9) Fatwa-Fatwa.
C. Metodologi Tafsir al-Munir
a. Ittijah (Pendekatan) Tafsir
Sebagai sebuah disiplin ilmu, tafsir tidak terlepas
dari Pendekatan (approach), yakni suatu cara yang sistimatis untuk
mencapai tingkat pemahaman yang benar tentang pesan al-Qur’an yang dikehendaki
Allah. Dengan demikian, pendekatan tafsir dapat diartikan sebagai suatu
prosedur sistematis yang diikuti dalam upaya memahami dan menjelaskan maksud
kandungan al-Qur’an.
Dilihat dari pendekatan penafsirannya, tafsir Daud
Ismail ini penganut tafsir bi al-ma’tsûr, hal ini bisa dilihat dari
ungkapannya yang mengatakan “nyi akoreG saisnmuto tpEeserai saisn”, banyaknya
kutipan-kutipan al-Qur’an hadis ataupun atsar yang dikutipnya. Sebagai
contoh diantaranya: disiplin ilmu yang mempengaruhi seorang penafsir.
1)
Menafsirkan al-Qur’an
dengan al-Qur’an: ketika menafsirkan surat al-Zalzalah ayat 7-8, beliau mengutip
juga surat al-Anbiya ayat 47 sebagai penjelasannya,[3] dengan mengatakan “nyi ay
mtuCuea rierkuwearo ynritu mkdnai puwaltal: naiyya aya natuncué rirekkuwaéro
yanaritu makkadanai puangalla ta’ala; (adapun ayat yang menjelaskan ayat
tersebut yaitu sebagaimana Allah berfirman [kemudian surat al-Anbiya 47 ditulis dan diterjemahkan).
2)
Menafsirkan al-Qur’an
dengan hadis: yaitu ketika beliau menafsirkan ayat 185 surah al-Baqarah tentang
bolehnya orang yang sakit ataupun orang yang musafir tidak puasa di bulan
Ramadhan, dan mengutip hadis:[4]
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ
يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
nyi sinin tau suPueGGi yi nperteG puwaltal
risuPu, nEniy pd neatauai puwn mEnRo, nEniy pd neatauai jn hisbEea.
Transliterasi: Naiya sininna tau sumpungenngi
iya naparéntangngé Puang Allah taala risumpung, nenniya pada naétaui Puanna
mennangro, nenniya pada naétaui jana hisabe’é.
Artinya: Dan orang-orang yang menghubungkan
apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada
Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
Daud mengutip hadis
sebagai penjelasan ayat tersebut:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ
يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
3) Menafsirkan
al-Qur’an dengan pendapat sahabat; seperti pengutip pendapat ibnu Abbas dalam
menafsirkan ayat 106 surah Yusuf:[5] dengan mengatakan “Menurut
Pendapat ibnu Abbas ra. (bahasa Bugisnya), orang yang demikian (pada masa itu
yang dijelaskan oleh ayat ini, yaitu mereka orang musyrik Mekah) mereka percaya
kepada Allah, tapi mereka juga menduakannya.”
Daud Ismail dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an, terkadang mengutip penafsiran dari mufasir ternama sebelumnya,
sehingga dapat dikatakan juga menggunakan metodologi muqarân meskipun
hanya sesekali. Contoh penafsiran Daud Ismail mengutip pendapat tafsir
al-Maraghi dalam menyebutkan kisah nabi Shaleh as. dalam surah al-A’raf ayat
73-87.[6] Demikian juga Daud Ismail dalam
mengutip pendapat al-Maraghi ketika menafsirkan surat al-Humazah ayat 9:
Dalam tafsirnya Al-Maraghi berpendapat “ayat
itu hanya dapat diimani dan tidak perlu dibahas bahwa tiang yang dimaksud
adalah tiang api atau besi, demikian juga dengan panjang dan lebarnya, tidak
boleh menyamakan dengan tiang yang ada di dunia. Akan tetapi makna ayat itu
kita serahkan kepada Allah, karena akhirat itu tidak sama yang ada di dunia,
hal ini pula tidak ada informasi dari Nabi Muhammad saw.
b. Tharîqah (Metode) Tafsir
Dilihat dari segi
metode penafsiran dan karakteristiknya, tafsir Daud Ismail ini mempergunakan
metode tahlîli moderat.
Artinya, tidak secara ketat mempergunakan tahlîli, karena tidak terlihat penjelasan setiap kosa kata
yang ada sebagaimana yang ada pada kebanyakan tafsir tahlîli, tapi hanya menampilkan kosa kata yang dianggap
butuh penjelasan. Tafsir Daud Ismail ini juga tidak mengkaji struktur
kebahasaan dan kajian balaghahnya sebagaimana yang terjadi pada tafsir-tafsir
yang beraliran al-adab al-ijtimâ’i. Dalam penggunaan gaya bahasa, Tafsîr al-Munîr menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami
oleh kebanyakan orang Bugis, mengingat tafsir ini diperuntukkan bagi seluruh
masyarakat Bugis dari semua kalangan.
Meskipun mempergunakan
metode tafsir tahlîli, dalam tafsir al-Munîr tampaknya Daud Ismail
tidak banyak memberikan penekanan pada penjelasan makna kosa kata. Daud lebih
banyak memberikan penekanan penjelasan dan pemahaman ayat-ayat secara
menyeluruh. Setelah mengemukakan terjemahan ayat, Daud biasanya menyampaikan
uraian makna dan petunjuk yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan, tanpa
banyak menguraikan makna kosa kata. Penjelasan makna kosa kata walau pun
ada tapi jarang dijumpai.
D. Teknis (Prosedur/Manhaj) Tafsir
1)
Terjemah
Tafsir Daud Ismail ini
memiliki komposisi yang cukup sederhana.
Hal ini bisa kita lihat dengan dimulainya suatu pembahasan dengan
mengelompokkan ayat-ayat yang ingin diterjemahkan dan ditafsirkan. Satu
kelompok biasanya terdiri antara 3-10 ayat atau lebih, dan kadang-kadang diberi
judul pada setiap kelompok ayat. Penerjemahan ayat-ayat dalam tafsir Daud
Ismail ini, mengacu pada terjemahan Departemen Agama yang sudah ada sebelumnya.
Hal ini beralasan karena Daud sendiri memakai al-Qur’an dan terjemahannya milik
Departemen Agama sebagai referensi dalam menafsirkan al-Qur’an.
Kalau dibandingkan dengan
tafsir yang menggunakan bahasa dan tulisan Arab, tafsir lokal bahasa Bugis,
punya keunggulan tersendiri. Misalnya, pembaca bisa tahu makna perkata dan tahu
posisi atau kedudukan kalimat, serta bila diterjemahkan maka kosa katanya
sejalan dengan bahasa Arab. Ini kelihatan sekali pada Tafsîr al-Munîr
karya Daud Ismail ini. Dengan demikian, umat Islam diuntungkan dengan adanya
tafsir lokal. Berbeda dengan tafsir yang ditulis bukan dengan bahasa dan cara seperti tafsir bahasa Bugis. Taruhlah
tafsir berbahasa Indonesia (Latin). Itu tidak akan bisa. Karena biasanya, model
penafsirannya langsung satu paragraf.
2)
Kosakata
Dalam upaya AG. H. Daud
Ismail memberikan pemahaman yang optimal kepada para pembacanya, beliau merasa
perlu mengemukakan pengertian dari berbagai istilah yang digunakan dalam karya
tafsirnya, mulai dari juz I sampai juz terakhir (juz 30), antara lain:[7]
1)
Term musyrik,
yaitu orang yang menyekutukan Allah Swt. dengan sesuatu, memercayai bahwa ada
Tuhan selain Allah, namun tetap mengakui ketuhanan Allah Swt. Dalam
penggunaannya, sering juga disebut dengan kâfir musyrik karena
kemusyrikan itu merupakan salah satu bagian dari kekafiran.
2)
Term munâfiq, yakni
orang yang secara lahir mengaku sebagai Muslim, namun dalam batinnya ia kâfir.
Yang dimaksud adalah orang yang tidak meyakini agama Islam dalam hatinya, atau
tidak beriman kepada salah satu rukun iman yang enam, atau salah satu dari
rukun Islam. Kendati demikian, ia biasa turut serta melakukan shalat, atau ikut
berbuka puasa di bulan Ramadhan. Kemunafikan
juga merupakan salah satu bagian dari kekafiran.
3)
Term kâfir, yaitu
orang yang mengingkari kebenaran salah satu yang wajib diimani. Pengingkaran
itu ia ucapkan dengan jelas, atau ia ekspresikan dalam tindak tanduknya.
Seperti kalau dia mengatakan tidak nabi, atau tidak ada hari pembalasan, atau
mengatakan tidak ada Tuhan atau semacamnya.
4)
Term fâsiq, yaitu
orang yang durhaka kepada Allah Swt., baik karena kekafiran maupun karena
kedurhakaan yang bukan kekafiran, seperti hanya meninggalkan kewajiban shalat,
puasa, zakat, dan haji. Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang melanggar
larangan Allah Swt., misalnya berzina, mencuri, minum minuman keras, dan
sebagainya. Singkatnya, seseorang yang fâsiq adalah yang durhaka karena
melanggar. Jika kedurhakaannya adalah kekafiran, maka ia tergolong fâsiq
dan kâfir sekaligus. Akan tetapi, bila kedurhakaannya bukan kekafiran,
ia hanya disebut fâsiq, misalnya seseorang hanya enggan mengeluarkan
zakat hartanya padahal sudah cukup nisâb-nya.
Untuk mencapai tujuan
al-Qur’an di atas, tentu saja diperlukan pemahaman dan penjelasan terhadap
makna kata yang terkandung di dalamnya. Meskipun untuk mencapai suatu pemahaman
yang benar dan baik tidaklah mudah.
Dalam Tafsir Daud Ismail ini,
kurang atau jarang sekali menjelaskan setiap kosa kata ayat, tetapi dia
langsung memberikan penjelasan ketika ada kata yang dianggap ambigu, ataupun
dia melewatkannya tanpa diberi
penjelasan.
3)
Munâsabah
Dalam Tafsir Daud Ismail,
munasabah ayat tidak ditemukan secara khusus membahasnya secara langsung, hanya
ketika mengungkapkan tafsir suatu ayat kemudian beliau sedikit menghubungkannya
dari ayat lain.
4)
Asbâb al-Nuzûl
Dalam Tafsir Daud Ismail
ini, ada beberapa ayat yang disebutkan “sbn nturu yiea surea” (saba’na naturung
iyaè suraè, sebab turunnya surat ini). Cuma yang menjadi pertanyaan adalah
sejauhmana validitas keshahihan asbâb al-nuzûl itu, karena bila kita
perhatikan ada beberapa ayat yang disebut asbâb al-nuzûlnya tapi
periwayatnya tidak disebut.
Daud Ismail dalam
mengutip asbâb al-nuzûl sebagai penunjang dalam menafsirkan al-Qur’an.
Bisa dilihat bahwa setiap ayat yang mempunyai asbâb al-nuzûl ditulisnya
walau tidak menyertakan perawi yang meriwayatkannya. Walau demikian, ada usaha
keras beliau untuk tetap menghadirkan asbâb al-nuzûl sebagai suatu
kesatuan dalam memahami al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat dengan ditulisnya asbâb
al-nuzûl ayat sebelum ditafsirkannya. Ada beberapa unsur yang perlu
dicermati dan tidak boleh diabaikan dalam menganalisis konteks asbâb
al-nuzûl, yaitu adanya peristiwa atau kasus, pelaku peristiwa, tempat
peristiwa dan waktu berlangsungnya peristiwa itu. Perpaduan secara integral
antara semua unsur dan komponen dalam peristiwa tersebut menggambarkan cukup
jelas bahwa pada dasarnya ayat-ayat al-Qur’an itu mempunyai hubungan dialektis
dengan fonomena sosio-kultural masyarakat. Peristiwa, pelaku, tempat dan waktu
perlu diidentifikasi dengan cermat untuk dapat diterapkan ayat-ayat tersebut
pada peristiwa lain dan di tempat dan waktu yang berbeda-beda.[8] Pemahaman inilah juga yang
dianut oleh Daud Ismail.
Demikian karakteristik
al-Qur’an Daud Ismail seperti tersebut di atas dalam implementasinya dalam
kehidupan paling tidak mempunyai dua implikasi: Pertama, ajaran yang
dikandung al-Qur’an bersifat universal dan abadi. Ajarannya dapat dipahami dan
diterapkan manusia sepanjang masa dan dalam berbagai tingkat intelektual
mereka. Kedua, tidak bisa dihindari kemungkinan adanya perbedaan
penafsiran dan penangkapan maksud yang dikandungnya. Kedua hal tersebut
merupakan sisi-sisi positif dari karakteristik al-Qur’an yang bersifat
simbolik. Keuniversalan al-Qur’an dan keabadian relevansinya merupakan suatu
fakta yang harus diakui kebenarannya, tidak saja dalam teks atau lafazhnya akan
tetapi juga dalam substansi makna yang dikandungnya. Dalam masalah-masalah yang
implementasinya bersifat permanen, yaitu sama dan berlaku untuk semua umat
manusia, al-Qur’an menjelaskannya dengan ungkapan-ungkapan yang pasti,
sedangkan dalam masalah-masalah yang implementasinya bisa beragam dan bersifat
dinamis al-Qur’an menjelaskannya dengan ungkapan yang umum. Namun demikian,
esensi yang dikandungnya tetap bersifat universal.
E. Corak Tafsir (Lawn)
Kalau dilihat dari corak
penafsirannya, tafsir al-Munir ini termasuk bercorak fikih. Hal ini bisa
dilihat dari berbagai tafsirannya ketika dia menafsirkan ayat-ayat hukum. Daud
Ismail ketika menemui ayat itu sebagai ayat hukum terutama masalah fikih, maka
Daud secara panjang lebar mengupas dan menerangkan ayat tersebut dengan
pendekatan fikih. Seperti ketika membahas masalah shalat, dia menjelaskan
panjang lebar tentang pentingnya memelihara shalat lima waktu.[9] Di samping itu, dia juga
menyertakan ayat-ayat dan hadis-hadis yang menyangkut tentang kewajiban dan
keutamaan shalat, beliau juga banyak mengutip
ayat-ayat dan hadis-hadis tentang shalat meski tidak menulis perawinya. Begitu juga ketika menemui ayat
tentang puasa, haji, zakat, waris, wasiat, yang secara gamblang beliau
menjelaskannya. Berbeda dengan ayat-ayat lain, Daud hanya mengulasnya dengan
sepintas tanpa banyak komentar.
[1] Rosmini, REVITALISASI TAFSIR LOKAL (Telaah atas
Fungsi Ganda Tafsir Mabbicara Ugi Tafsir al-Munir karya AGH. Daud Ismail
al-Soppeniy) (Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009),
204-205.
[3]
Daud Ismail, Tafsîr al-Munîr, (Ujung Pandang: Bintang Selatan, 1985), cet. III,
juz XXX , h. 263.
[8]
M.Quraish Shihab dkk.,
Sejarah dan Ulumul Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. II,
h. 78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar