BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hadis merupakan segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan
(iqrar) dan persetujuan dari Nabi Muhammad Saw yang dijadikan pegangan ataupun
hukum dalam agama Islam. Hadis juga merupakan sumber hukum kedua dalam Islam
setelah Al-Qur'an.
Suatu hadis bisa dikatakan menjadi hadis Shahih, Hasan, ataupun
Dha’if karena beberapa alasan. Suatu hadis bisa terangkat derajatnya dari Hasan
menjadi Shahih apabila syarat-syarat hadis shahih itu telah terpenuhi, begitu
juga hadis yang semula diyakini Shahih namun bisa saja kemudian hadis tersebut
ternyata masuk kategori hadis Hasan jika ditemukan keganjalan dalam hadis itu
baik berupa sanadnya maupun matannya. Atau bisa saja suatu hadis disebut
Hasan-Shahih dengan beberapa persyaratan.
Inilah yang penulis coba bahas dalam makalah ini supaya memudahkan
dalam memahami suatu hadis yang ditemui di lingkungan masyarakat setempat.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
Yang Dimaksud Musytarak antara Shahih Hasan dan Dhaif?
2. Jelaskan
Macam-Macam Musytarak antara Shahih Hasan dan Dhaif?
C. TUJUAN
1. Menjelaskan
Definisi Musytarak antara Shahih, Hasan dan Dha’if secara terperinci
2. Menjelaskan
Macam-Macam Musytarak antara Shahih, Hasan dan Dha’if secara global.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. MUSYTARAK ANTARA SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF
Musytarak
dalam bahasa Arab disebut dengan kompromis. Kompromis
menurut Kamus Ilmiah Populer adalah penyelesaian perselisihan dimana pihak yang
terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu titik
penyelesaian(damai). Menurut kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
musytarak artinya kebersamaan atau hubungan timbal balik . Jadi, musytarak adalah
sebuah solusi dari upaya untuk mencari jalan tengah (damai) terhadap suatu
persoalan dengan tetap menyertakan kepentingan diantara pihak-pihak yang
berselisih secara adil.
Menurut
Zulkarnain al-Maidaniy, hadis kompromis atau hadis-hadis yang musytarak antara
shahih, hasan dan dha’if merupakan suatu terminology bagi hadis, yakni
jenis-jenis hadis menurut terminology ulama yang bersifat komplementer antara
shahih, hasan dan dha’if.
Jadi,
hadis-hadis yang kompromis antara shahih, hasan dan dha’if’ sebagai kondisi hadis
yang memungkinkan untuk memasukkannya ke dalam suatu kategori dari ketiga
kategori hadis di atas, atau sebuah sistem penilaian tentang status hadis,
bagaimana ia menjadi shahih, hasan dan dha’if, serta bagaimana pula
syarat-syaratnya.
B. MACAM-MACAM MUSYTARAK ANTARA SHAHIH, HASAN DAN
DHA’IF
1. Hadits Marfu’, Muttashil dan Musnad[1]
a) Hadits Marfu’
Menurut bahasa adalah isim maf’ul dari
fi’il rafa’a kebalikan dari kata Wadla’a, dinamakan demikian karena dinisbatkan
kepada orang yang mempunyai kedudukan tinggi, yaitu Nabi SAW[2].
Sedangkan menurut istilah hadits marfu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW. Secara khusus, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik
muttashil maupun munqathi’ karena gugurnya seorang sahabat atau lainnya dari
sanadnya.
Al-Khathib al-Baghdady membatasinya
dengan sesuatu yang dikhabarkan oleh sahabat dari Rasulullah SAW. Baik berupa
sabda maupun perbuatan. Dengan demikian, terlepas dari definisi itu adalah
hadis mursal. Namun pendapat pertamalah yang merupakan pendapat mayoritas ahli
hadis.
Marfu’
terbagi dua, yaitu:
1) Tashrihan, yaitu isinya
terang-terangan menunjukkan kepada marfu’.
2) Hukman, yaitu isinya tidak
terang-terangan menunjukkan kepada marfu’ tetapi dihukumkan marfu’ karena
bersandar kepada beberapa tanda.
Beberapa
kalimat yang berhubungan dengan pembicaraan marfu’.
Ø Jika
diriwayatkan satu hadits dari seorang shahabi, tetapi tabi’i yang
menceritakannya berkata: “ ia merafa’kannya (kepada Nabi Saw) atau ia menyandarkannya
(kepada Nabi saw) atau ia meriwayatkan (dari Nabi Saw) atau ia sampaikannya
(kepada Nabi Saw) atau dengan meriwayatkan (sampai Nabi Saw).
Ø Jika
seorang shahabi berkata:” telah berlalu sunnah, atau menurut sunnah, atau kami
berbuat demikian di zaman Nabi Saw, atau kami berbuat demikian padahal
Rasulullah Saw masih hidup.
Ø Kalau
di akhir sanad ada sebutan:” keadaannya dimarfu’kan.
b) Hadits Muttashil (Maushul)
Hadits muttashil adalah hadits
yang bersambung sanadnya, sama saja apakah marfu’ kepada Nabi Saw atau sekedar
mauquf kepada sahabat atau orang yang dibawahnya.
c) Hadits Musnad
Hadits musnad adalah hadits yang
sanadnya bersambung,baik persambungan itu sampai kepada Nabi ataupun sampai
kepada Sahabat[3].
Musnad tidak sama dengan marfu’, dengan alasan bahwa dalam marfu’ ada
kemungkinan inqitha’, karena penekanannya pada matan saja. Berbeda dengan
musnad yang berkumpul di dalamnya dua syarat, yaitu ittishal dan rafa’
(penekanan pada sanad dan matan), maka dapat dikatakan bahwa setiap musnad
adalah muttashil, karena ittishalnya sanad dari awal hingga akhir, dan musnad
juga dikatakan marfu’ karena berakhirnya matan sampai kepada Nabi Saw.
Ajaj al-Khatibi mencatat bahwa
hadits muttashil kadang-kadang marfu’ dan kadang-kadang tidak merfu’. Sementara
hadits yang marfu’ kadang-kadang muttashil dan kadang-kadang tidak muttashil.
Sedangkan hadits musnad adalah muttashil lagi marfu’.
2. Hadits Mu’an’an, Mu’annan dan Mu’allaq
a) Hadits Mu’an’an
Al-Mu’an’an menurut bahasa adalah hadits
yang diriwayatkan dengan memakai ‘an (dari). Sedangkan menurut istilah
ilmu hadits adalah “ Hadits yang diriwayatkan dengan memakai perkataan ‘an
fulanin (dari si fulan) dengan tidak disebut perkataan “ haddatsana” (ia
menceritakan) atau “akhbarana” ( dia mengkhabarkan kepada kami) atau “sami’na”
(kami mendengar).
Bukhari dan Ibnu al-Madini memandang
hadits mu’an’an sebagai muttashil apabila orang yang “an” itu ada
bertemu atau mungkin bertemu dengan orang yang menceritakan kepadanya serta dia
bukan orang yang mudallis. Sedangkan Muslim mensyaratkan hanya semasa saja.
b) Hadits Mu’annan
Menurut bahasa : hadits yang memakai
perkataan “anna” (bahwasanya) ditengah sanadnya. Menurut istilah ilmu
hadits adalah “ Hadits yang diriwayatkan dengan memakai perkataan “anna”.
Hadits Mu’annan ini, disamakan hukumnya
atau syaratnya dengan hadits Mu’an’an diatas yaitu mungkin dan bukan termasuk
rawi yang mudallas. An-Nawawi dalam taqribnya mengatakan bahwa di masanya telah
banyak orang mempergunakan “an”, buat menerima dengan jalan ijazah,
sedang “anna” dipakai buat orang yang menerima dengan mendengarnya
sendiri.
c) Hadits Mu’allaq
Dalam istilah ilmu hadits adalah: “
Hadits yang pada awal sanadnya terbuang satu perawi atau lebih secara
berturut-turut, dan hadits itu dinisbatkan kepada perawi diatas perawi yang
terbuang.”
Hadits muallaq ini banyak terdapat dalam
shahih Bukhari yang terbagi dalam dua bagian:
1) hadits
tersebut ditempat lain berstatus muttashil, ini dimaksudkan untuk meringkas
agar jangan terlalu panjang.
2) Hadits
tersebut memang berstatus muallaq, hanya beliau meriwayatkannya dengan shighat
jazm (redaksi pasti) seperti qala, pa’ala, amara dan rawa.
Komentar an-Nawawi untuk kasus seperti ini, maka hadis tersebut adalah shahih.
3. Hadits Al-fard Al-Gharib
Secara
bahasa : yang jauh dari negerinya, yang asing, yang ajaib, yang luar biasa,
yang jauh untuk dipaham. Dalam istilah Ahli Hadits, ialah “ Suatu Hadits yang
diriwayatkan hanya dengan satu sanad.”
Bagian Gharib.
Bagian Gharib.
a)
Pada
sanad saja
Apabila
matan satu hadits diriwayatkan oleh “beberapa” sahabat, tetapi seorang rawi
bersendiri menceritakannya dari “seorang” shahabi lainnya.
b)
Pada
Sanad dan Matan secara bersama-sama.
Yaitu
satu hadits yang hanya mempunyai satu sanad saja, sedangkan matannya tidak
orang lain lagi yang meriwayatkannya. Gharib juga biasa dinamakan dengan Fard. Fard
terbagi dua, yaitu:
·
al-Fardu al-Muthlaq.
Jika “seorang” tabi’i bersendiri meriwayatkan suatu hadits
dari seorang sahabat, sekalipun sesudah tabi’i tersebut sanadnya tetap gharib
atau banyak orang yang menceritaknnya.
·
al-Fardu al-Nisbi.
Jika “lebih dari seorang” tabi’i menceritakan satu hadits dari
seorang sahabat, lalu ada seorang rawi bersendiri dari salah seorang mereka
dalam meriwayatkan hadits itu.
4.
Hadits
Ahad
Hadis ahad ialah hadis yang diriwayatkan
oleh satu, dua atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat masyhur, apalagi
mutawattir[4].
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah Ilmu Hadis:
هو ما لا ينتهي الى التواتر
“Hadis ahad adalah hadis yang tidak
mencapai derajat Mutawatir”
Sifat
atau tingkatan hadis ini adalah "zhanniy", dan tidak bersifat
“qath’i” .
Dari segi kualitas penerimaan (maqbul
atau mardud), sebelumnya para ulama membagi hadis Ahad ini menjadi dua macam,
yakni hadis Shahih dan hadis Dha'if. Namun Imam At Turmudzi lah yang kemudian
membagi hadis Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu dengan disertakannya hadis
Hasan sebagai kategori hadis selain Shahih dan Dha’if. Namun, berdasarkan
jumlah perawi, hadis ahad ini terbagi ke dalam 3 pembagian: 1. Ahad Masyhur. 2.
Ahad ‘Aziz. 3. Ahad Gharib.
A. Pembagian
Hadis Ahad berdasarkan jumlah perawinya;
1) Hadis
Ahad Masyhur atau Mustafidah
Masyhur menurut bahasa berarti yang
sudah tersebar atau yang sudah populer . Karena sudah tersebar ke berbagai
daerah. Batasan jumlah rawi hadis masyhur pada setiap tingkatan tidak kurang
dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai
jumlah rawi hadis mutawatir.
Contoh hadis masyhur (mustafidah) adalah
sebagai berikut: “ Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang
kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadis Riwayat
Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) “
Hadis di atas sejak dari tingkatan
pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan
hadis (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh
tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.
2) Hadis
Ahad ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa, berarti: yang
mulia atau yang kuat dan juga berarti jarang. Hadis ‘aziz menurut bahasa
berarti hadis yang mulia atau hadis yang kuat atau hadis yang jarang, karena
memang hadis ‘aziz itu jarang adanya. Hadis ‘Aziz ini juga didefinisikan
sebagai; ‘hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tabaqat
sanadnya’ .
Berdasarkan batasan di atas, dapat
dipahami bahwa bila suatu hadis pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua
orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi maka hadis itu
tetap saja dipandang sebagai hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan
karena itu termasuk hadis ‘aziz.
Contoh hadits ‘Aziz adalah sebagai
berikut: “ Rasulullah SAW bersabda: “Kita adalah orang-orang yang paling akhir
(di dunia) dan yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Hadis Riwayat Hudzaifah
dan Abu Hurairah) “
Hudzaifah dan abu hurairah yang
dicantumkan sebagai rawi hadis tersebut adalah dua orang sahabat Nabi, walaupun
pada tingkat selanjutnya hadis itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi,
namun hadis itu tetap saja dipandang sebagai hadis yang diriwayatkan oleh dua
orang rawi, dan karena itu termasuk hadis ‘aziz.
3) Hadis
Ahad Gharib
Gharib, menurut bahasa berarti jauh,
terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Hadis gharib menurut bahasa berarti
hadis yang terpisah atau menyendiri dari yang lain, atau ‘ Hadis yang terdapat
penyendirian rawi dalam sanadnya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi’ .
Para ulama memberikan batasan sebagai
berikut: hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi
(sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad. Berdasarkan batasan tersebut,
maka bila suatu hadis hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru
pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadis tersebut tetap
dipandang sebagai hadis gharib.
Contoh hadis gharib ini antara lain
adalah sebagai berikut: “ Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar
Rasulullah Saw bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap
orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadis Riwayat Bukhari, Muslim
dan lain-lain) “
Kendati hadis ini diriwayatkan oleh
banyak imam hadis, termasuk Bukhari dan Muslim, namun hadis tersebut pada
tingkatan pertama hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi, yaitu Umar bin
Khattab, dan pada tingkatan kedua juga diriwayatkan oleh hanya satu orang
tabi’in, yaitu ‘Alqamah. Dengan demikian hadis itu dipandang sebagai hadis yang
diriwayatkan oleh satu orang dan termasuk hadis gharib.
5. Mutabi’ dan Syahid
a) Mutabi’
Al-Muttabi’ secara bahasa artinya yang
mengiringi atau yang mencocoki. Menurut Ahli Hadits adalah, “hadits yang terdapat
di dalamnya rawi-rawi yang bersekutu dengan rawi hadis, baik secara makna dan
lafadz maupun secara makna saja, serta bersatu sanadnya pada sahabat[5].”
Mutabi’
ada dua macam, yaitu:
· Tamm ( yang sempurna) yaitu
apabila sanad itu menguatkan rawi yang pertama.
· Qashir ( yang kurang
sempurna) yaitu apabila sanad itu menguatkan rawi-rawi yang lain dari yang
pertama tadi.
b) Syahid
al-Syahid berasal dari kata asy-syahadatu,
dinamakan demikian karena menyaksikan bahwa hadis yang tunggal itu
mempunyai asal, lalu ia menguatkannya, seperti halnya saksi menguatkan
pernyataan orang yang menuduh lalu menguatkannya[6].
Syahid
terbagi dua, yaitu:
· Syahid
Lafzhiy, suatu matan hadits yang menguatkan matan hadits lain secara lafazh.
· Syahid
Maknawiy, suatu hadits yang menguatkan hadits lain dari segi makna, bukan
lafazhnya.
Keterangan:
Kegunaan Mutabi’ dan syahid adalah untuk
menguatkan keterangan lain, apakah yang dikuatkan itu shahih, hasan atau dlaif.
6. ‘Ali dan Nazil
‘Ali artinya : yang tinggi. Nazil
artinya : yang rendah. ‘Ali dalam istilah ilmu hadits ialah, “ Satu hadits yang
para perawi sanadnya lebih sedikit dibanding dengan sanad lain dari hadits itu
juga.”
Nazil dalam istilah ilmu hadits adalah,
“ satu hadits yang para perawi sanadnya lebih banyak dibanding dengan sanad
lain dari hadits itu juga.”
Bagian
‘Ali.
Pertama,
Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada Nabi saw sedikit, kalau dibandingkan
dengan sanad lain dari hadits itu juga.
Kedua,
Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada salah seorang imam hadits sedikit
dibanding dengan sanad lain dari riwayat itu juga.
Ketiga,
Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada salah satu kitab yang mu’tabar lebih
sedikit dibandingkan dengan sanad lain.
Keempat,
Satu sanad di dalamnya ada rawi yang terima dari seorang syaikh meninggal lebih
dahulu dari rawi lain yang juga terima dari syaikh tersebut.
Kelima,
Sanad yang di dalamnya ada rawi yang mendengar dari syaikh lebih dahulu
daripada rawi lain dari syaikh itu juga.
Keterangan:
‘Ali
yang pertama disebut juga dengan ‘al-Uluwul Haqiqi” atau “al-Uluwwul
Muthlaq” karena tidak disandarkan kepada selain Nabi Saw.
Sedang
‘Ali yang kedua sampai dengan kelima disebut juga dengan “al-Uluwwun Nisbi”.
Riwayat
al-Kabir ‘an al-Shagir.
Yaitu
riwayat orang besar dari orang kecil.
Maksudnya
adalah:
a).
Orang yang lebih tua umurnya dari rawi yang satunya, dan lebih dahulu
thabaqahnya.
b).
Orang yang lebih tinggi derajatnya tentang ilmu dan hafalan.
c).
Orang yang lebih tua umurnya, serta lebih dahulu mendengar dari seorang syaikh.
d).
Seorang guru (jika dibandingkan dengan muridnya).
e).
Seorang Sahabat Nabi Saw (jika dibandingkan dengan tabi’i).
f).
Seorang tabi’i (jika dibandingkan dengan pengikutnya, yaitu tabi’ut tabi’i).
keterangan:
ilmu
tentang riwayat Kabir ‘an Shagir adalah agar kita tidak menyangka sanadnya
terbalik dan agar jangan ada anggapan bahwa orang yang diriwayatkan daripadanya
itu lebih mulia.
7. Hadits Mudraj
Hadits yang disadur dengan sesuatu yang
bukan hadits atas perkiraan, bahwa saduran itu termasuk hadits[7].
Sedang secara terminologis ia memiliki dua macam arti:
a) Idraj
fil matn, yaitu memasukkan suatu pernyataan sebagian perawi ke dalam matan hadits,
sehingga di salahpahami bahwa pernyataan itu termasuk sabda Nabi Saw. Letaknya
bisa diawal, di tengah dan di akhir, dan inilah yang umum terjadi.
b) Idraj
fis Sanad, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
· Seorang
perawi memiliki dua matan dengan dua sanad, lalu ia meriwayatkan keduanya
dengan salah satu sanad.
· Seorang
perawi mendengar suatu hadits dari sejumlah ulama dengan beragam sanad atau
matannya, lalu ia meriwayatkannya dari mereka secara seragam dan dengan satu
sanad tanpa menjelaskan adanya perbedaan di antara mereka.
· Seorang
perawi memiliki suatu hadits lengkap dengan sanadnya, kecuali sebagian darinya.
Ia memiliki yang sebagian itu dengan sanad lain. Tetapi kemudian ada perawi
(lain) yang meriwayatkannya secara lengkap darinya dengan salah satu sanadnya.
Ulama sepakat mengenai keharaman sengaja
melakukan idraj dengan segala bentuknya. Karena rawi yang melakukan idraj,
berarti telah gugur sifat adilnya, termasuk yang memutar bailkkan kalam dan
disejajarkan dengan para pendusta. Sedang mudraj yang terjadi kesalahan perawi
maka tidak ada dosa. Tetapi bila kesalahan tersebut sering terjadi, maka
kualitas kedlabitannya cacat.
8. Al-Mushahhaf dan Al-Muharraf
a) Al-Mushahhaf
Mushahhaf berarti sesuatu yang di
dalamnya termuat kekeliruan baik dalam lafadz maupun maknanya. Sebagian ulama’
mengkhususkan istilah itu untuk kata-kata yang mengalami perubahan satu atau
dua huruf karena perubahan titik-titiknya dengan masih utuh tulisannya.
Misalnya tashhif yang terjadi pada hadis:
”barang
siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan melanjutkannya dengan enam hari
dari bulan Syawal”.
Menjadi
berbunyi:
”barang
siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan melanjutkannya dengan sebagian dari
bulan Syawal”.
Tashhif terdiri dari dua bagian yaitu
tashhif sam’ dan tashhif bashar (kekeliruan mendengar dan kekeliruan melihat).
b) Al-Muharraf
Muharraf
adalah perubahan yang terjadi karena harakat semata.
Contohnya adalah hadis Jabir:
رُمِيَ أُبَيٌّ يَوْمَ
الْاَحْزَبِ عَلَى أَكْحُلِهِ فَكَوَاهُ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ.
Sebagian perawi melakukan tashhif dengan
membaca “(أَبِيْ)”. Padahal yang
dimaksud adalah “Ubay ibn Ka’b”. Disamping itu, ayah Jabir telah syahid di Uhud
sebelum peristiwa itu.
9. Musalsal
Musalsal artinya yang terangkai atau
yang berangkai. Menurut Ahli Hadits Musalsal dalam pembicaraan ilmu haditsadalah
“ satu hadits yang rawi-rawinya atau jalan meriwayatkannya berturut-turut atas
satu keadaan”[8].
Dr. M. Ajaj al-Khatibi memasukkan
musalsal ini dalam sifat isnad dengan memberikan contoh, diantaranya:
1) Tasalsul
hal-ihwal para perawi yang berupa ucapan. Contohnya hadits Muadz bin Jabal,
bahwa Nabi Saw bersabda kepadanya: “Wahai Muadz, sesungguhnya aku mencintaimu.
Karena itu, setiap usai shalat, maka berdoalah: Ya Allah, tolionglah aku untuk mengingatMu,
bersyukur kepadaMu dan mengabdi sebaik-baiknya kepadaMu.
Masing-masing rawi secara berantai
mengatakan : sesungguhnya aku menciantaimu.
2) Musalsal
karena hal-ihwal para perawi yang berupa perbuatan. Contohnya hadits Abu
Hurairah r.a katanya, Abu al-Qasim Saw menggenggam tanganku seraya berkata:
“Allah menciptakan bumi pada hari sabtu.”
Hadits ini diriwayatkan secara berantai
dengan cara masing-masing perawi menggenggam tangan orang yang meriwayatkan
hadits itu darinya.
3) Musalsal
karena hal-ihwal perawi yang berupa ucapan dan perbuatan sekaligus. Contohnya
adalah hadits Anas bin Malik r.a, katanya, Rasulullah saw bersabda: “seorang
hamba tidak akan merasakan manisnya iman, sehingga ia beriman kepada qadar,
baik dan buruknya, manis dan getirnya.” Rasulullah Saw memegang jenggotnya
seraya berkata lagi: “Aku beriman kepada qadar, baik dan buruknya, manis dan
getirnya. Masing-masing perawi melakukan dan mengatakan apa yang dilakukan dan
dikatakan oleh Nabi Saw.
4) Musalsal
dengan sifat-sifat isnad dan periwayatan. Misalnya para perawi memiliki
kesamaan dalam sighat ada’, seperti ucapan masing-masing perawi: “sami’tu
fulan”, “haddatsana fulan”, “akhbarana fulan wallahi”, “asyhadu billahi
lasami’tu fulan yaqulu” atau sejenisnya.
Hadits-hadits musalsal ada yang shahih,
hasan, dlaif dan bathil, tergantung pada keadaan para perawinya. Karena
tasalsul merupakan sifat bagi sebagaian sanad, maka sifat ini tidak serta merta
mengindikasikan keshahihan atau kedlaifan. Kadang-kadang hadits bertasalsul
sejak awal sampai akhirnya. Namun kadang-kadang sebagian tasalsul itu terputus
sejak awal atau akhirnya.
BAB
III
KESIMPULAN
1. Musytarak
dalam bahasa Arab disebut dengan kompromis.
Kompromis menurut Kamus Ilmiah Populer adalah penyelesaian perselisihan dimana
pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu titik
penyelesaian(damai). Menurut kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
musytarak artinya kebersamaan atau hubungan timbal balik . Jadi, musytarak
adalah sebuah solusi dari upaya untuk mencari jalan tengah (damai) terhadap
suatu persoalan dengan tetap menyertakan kepentingan diantara pihak-pihak yang
berselisih secara adil.
Menurut Zulkarnain al-Maidaniy, hadis kompromis atau
hadis-hadis yang musytarak antara shahih, hasan dan dha’if merupakan suatu
terminology bagi hadis, yakni jenis-jenis hadis menurut terminology ulama yang
bersifat komplementer antara shahih, hasan dan dha’if.
2. Macam-macam
musytarak antara Shahih, Hasan dan Dhaif, antara lain: Hadits Marfu’,
Muttashil, Musnad, Mu’an’an, Mu’annan dan Mu’allaq, Al-fard Al-Gharib, Ahad, Mutabi’,
Syahid, dan lain-lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Khatib,
Muhammad ‘Ajaj. 2007. Ushul Al-Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Hassan,
A. Qadir. 2007. Ilmu Musthalah Hadits. Bandung: Diponegoro.
Ismail,
M. Syuhudi. 1991. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Angkasa
Rahman,
Fatchur. 2004. Ikhtishar Musthalahul Hadits. Bandung: PT Al-Ma’arif
Thahhan,
Mahmud. 2004. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
[1]
Muhammad
‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007),
[2]
Mahmud Thahhan, Ulumul
Hadis, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2004), 125
[3]M. Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadits. (Bandung: Angkasa, 1991), hal 168
[6]
Ibid, 135
[7]
Fatchur Rahman, ikhtishar
Musthalahul Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 2004), 161
Las Vegas' 1,100 rooms with two or more - MapyRO
BalasHapus› 전라북도 출장마사지 rooms-with-two-or › rooms-with-two-or Sep 2, 2020 — Sep 2, 2020 These 세종특별자치 출장마사지 rooms are the largest in the world. Las Vegas 공주 출장마사지 is home to a vibrant mix of nightlife and dining. 영주 출장안마 4,280 rooms: 2,280 sq 시흥 출장안마 ft, 651 rooms: 1,280 sq ft, 651 rooms: 1,280 sq ft,