BAB
I
PENDAHULUAN
1. KATA PENGANTAR
Kita
sudah begitu sering berpikir. Rasa-rasanya berpikir begitu mudah.semenjak kecil
kita sudah biasa melakukannya. Setiap hari kita berdialog dengan diri kita
sendiri, berdialog dengan orang lain, berbicara , menulis, membaca suatu uraian
dan lain-lain.
Namun
apabila diselidiki lebih lanjut, dan terutama bila harus diraktekkan
sungguh-sungguh ternyata berpikir dengan teliti dan tepat merupakan kegiatan
yang cukup sukar juga. Keinsafan akan adanya kesulitan-kesulitan mendorong
orang untuk memikirkan caranya ia berpikir, serta meneliti asas-asas hokum yang
harus mengatur pemikiran manusia agar dapat mencapai kebenaran. Dengan
demikian, timbullah suatu ilmu yang disebut logika. Sebagai pelopor ilmu
logika adalah Aristoteles (348-322 SM) dengan karyanya yang terkenal dengan
judul To Organon.
Lapangan
penerapan logika sangatlah luas, bukan hanya di bidang ilmu pengetahuan saja
tetapi di seluruh bidang kehidupan. Sebab, sebagai makhluk yang berakal, kita
harus menggunakan akal sehat di segala bidang kehidupan karena hal ini
sangatlah dibutuhkan dewasa ini. Bangsa kita sedang mengalami suatu masa
peralihan yang cepat.
Dalam
menghadapi persoalan yang sulit ini sangatlah dibutuhkan orang yang cakap
berpikir, menalar sendiri, dengan objektif, rasionala dan kritis,dan yang
mendasarkan tindakan-tindakannya atas alasan-alasan yang tepat, bukan atas
emosi atau prasangka.
2. RUMUSAN MASALAH
a) Sebutkan
macam-macam ta’rif ?
b) Jelaskan
syarat-syarat ta’rif!
c)
Bagaimana ta’rif
(definisi) dalam wacana para ahli logika dan filosof ?
3. TUJUAN
a) Menyebutkan
macam-macam ta’rif beserta penjelasannya secara terperinci
b) Menjelaskan
syarat-syarat ta’rif
c) Menjelaskan
pendapat para ahli logika dan filosof mengenai ta’rif (definisi)
BAB
II
TA’RIF
(DEFINISI)
A.
PENGERTIAN
TA’RIF (DEFINISI)
Takrif (al-ta’rif) secara etimologi berarti
pengertian atau batasan sesuatu. Takrif disebut juga al qaul al-syarih (ungkapan
yang menjelaskan). Dengan demikian, takrif menyangkut adanya sesuatu yang
dijelaskan, penjelasannya itu sendiri, dan cara menjelaskannya.
Al-Jurzani menjelaskan pengertian takrif sebagai
berikut:
عِبَارَةٌ
عَنْ ذِكْرِ شَيْئٍ تَسْتَلْزِمُ مَعْرِفَتْهُ مَعْرِفَةَ شَيْئٍ آخَرٍ
Takrif adalah
penjelasan tentang penuturan sesuatu, yang dengan mengetahuinya akan melahirkan
suatu pengetahuan yang lain.
Takrif
juga disebut al-had, yaitu
قَوْلٌ
دَالٌ عَلَى مَا هِيَةِ الشَّيْئِ
Kalimat yang menunjukkan hakikat
sesuatu.
Pengertiam
logis tentang persoalan objek pikir merupakan upaya memahami maknanya dalam
membentuk sebuah keputusan dan argumentasi ilmiah yang menjadi pokok bahasan
mantik. Dan dalam praktiknya mesti menguasai bahan pembentukan takrif, yaitu kulliyah
al-Khams.
Sedangkan
menurut istilah ahli logika (mantiq), ta’rif
atau definisi adalah teknik menjelaskan sesuatu yang dijelaskan, untuk
diperoleh suatu pemahaman secara jelas dan terang, baik dengan menggunakan
tulisan maupun lisan, dan dalam ilmu mantiq dikenal dengan sebutan (qaul
syarih). Dalam bahasa Indonesia, ta’rif tersebut dapat diungkapkan dengan perbatasan
dan definisi.
B. PEMBAGIAN TA’RIF
Ta’rif
dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
1) Ta’rif Had
Ta’rif dengan
had, adalah ta’rif yang menggunakan rangkaian lafadz kulli jins dan
fashl. Contoh: Manusia adalah hewan yang berfikir.
Hewan adalah jins dan
berfikir adalah fashl bagi manusia.
Ta’rif had ada 2, yaitu ta’rif had
tam dan ta’rif had naqish
a) Ta’rif Had Tam
اَنْ
يَكُوْنَ بِالْجِنْسِ وَالْفَصَلِ القَرِيْبَيْنِ
Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang
didefinisikan) dengan menggunakan jenis qarib dan fashal qarib.
Contoh:
Manusia adalah hewan yang dapat berfikir (al-insan hayawan al-nathiq)
Hewan
adalah jins qarib kepada manusia karena tidak ada lagi jins di bawahnya. Sedangkan
dapat berfikir adalah fashal qarib baginya.
b) Ta’rif Had Naqish
اَنْ
يَكُوْنَ بِالْجِنْسِ البَعِيْدِ وَالْفَصَلِ القَرِيْبِ اَوْ بِالْفَصَلِ
القَرِيْبِ فَقَطْ
Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang
didefinisikan) dengan menggunakan jenis ba’id dan fashal qarib, atau hanya
fashal qarib.
Contoh:
Manusia adalah tubuh yang dapat berfikir ( al-insan jism al-nathiq).
Jism adalah jins ba’id bagi manusia dan
dapat berfikir adalah fashl qarib
baginya.
Contoh:
Manusia adalah yang dapat berfikir (hanya fashal qarib saja).
2) Ta’rif Rasm
Ta’rif dengan rasm adalah ta’rif yang
menggunakan jins dan ‘irdhi khas. Contoh: Manusia adalah hewan yang dapat
tertawa.
Hewan
adalah jins dan tertawa adalah ‘irdhi khas (sifat khusus) manusia.
Ta’rif rasm ada 2, yaitu ta’rif rasm
tam dan ta’rif rasm naqish
a)
Ta’rif
Rasm Tam
اَنْ يَكُوْنَ بِالْجِنْسِ القَرِيْبِ
وَالْخَاصَّةِ
Penjelasan
sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan jenis qarib dan
khashah.
Contoh: Manusia adalah
hewan yang mampu belajar kitab.
Hewan adalah jins qarib bagi
manusia, sedangkan
mampu belajar kitab adalah khashah
baginya.
b)
Ta’rif
Rasm Naqish
اَنْ
يَكُوْنَ بِالْجِنْسِ البَعِيْدِ وَالْخَاصَّةِ اَوْ بِالْخَاصَّةِ فَقَطْ
Penjelasan
sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan jenis ba’id dan khashah
atau dengan khashah saja.
Contoh: Manusia adalah jism
(tubuh) yang bisa ketawa.
Jism
adalah jins ba’id bagi manusia dan
bisa
tertawa adalah khashah baginya.
Contoh: Manusia adalah yang tertawa.(dengan
khashah saja)
3) Ta’rif dengan Lafadz
تَبْيِيْنُ
الشَّيْئِ بِالَّفْظِ اَوْ ضَحُ مِنْهُ
Penjelasan sesuatu
(mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan kata muradif (sinonim) yang
lebih jelas dari mu’arraf.
Contoh:
الْيَرَعُ
هُوَ الْقَلَمُ
Sesuatu yang menyerupai bambu
runcing adalah pena.
الْغَنَفَرُ
هُوَ الاَسَدُ
Singa
jantan adalah singa.
4) Ta’rif dengan Mitsal
تَبْيِيْنُ الشَّيْئِ بِمِثَالِهِ
Penjelasan
sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan contohnya.
Contoh: subjek (fail) itu seperti
“mahasiswa” dalam ucapan “mahasiswa telah datang”.
C. SYARAT-SYARAT TA’RIF
Ta’rif menjadi benar dan dapat diterima,
jika syarat-syaratnya terpenuhi, antara lain:
1.
Ta’rif harus
jami’ mani’ (muththarid mun’akis)
Secara
lughawi, jami’ berarti mengumpulkan dan mani’ adalah melarang. Dalam ilmu
mantik, jami’ berarti mengumpulkan semua satuan yang dita’rifkan ke dalam
ta’rif. Sedangkan mani’ berarti melarang masuk segala satuan hakekat lain dari
yang dita’rifkan ke dalam ta’rif tersebut. Oleh Karena itu, ta’rif tidak boleh
lebih umum atau lebih khusus dari yang dita’rifkan.
Contoh:
Manusia
adalah hewan yang berakal.
2.
Ta’rif harus
lebih jelas dari yang dita’rifkan (an yakuna audlah min al-mu’raf).
3.
Ta’rif harus sama
pengertiannya dengan yang dita’rifkan. Karena itulah ta’rif tidak dianggap
benar dan tidak bisa diterima sebagai ta’rif (definisi), jika keadaannya tidak
sama dengan yang didefinisikan.
4.
Ta’rif tidak berputar-putar.
Maksudnya jangan sampai terjadi ta’rif dijelaskan oleh yang dita’rifi (an
yakuna khaliyan min al-dawar).
5.
Ta’rif bebas
dari penggunaan kata majazi dan kata yang mngandung banyak makna (an
yakuna khaliyan min al-majaz wa al-musytarakat).
D. Ta’rif (Definisi) Dalam Wacana Para Ahli Logika dan
Filosof
Dalam kaitannya dengan klasifikasi
ta’rif (definisi) dan kriterianya seperti tersebut di atas, maka para ahli
logika berpendapat bahwa hal-hal yang tidak boleh dimasukkan ke dalam ta’rif
(definisi) adalah sebagai berikut:
1) Masalah
hukum
Hal ini tidak bisa dimasukkan ke
dalam wilayah ta’rif (definisi) had, baik ta’rif had tam maupun had
naqish. Contoh:
Tarkib HAL (حال) adalah isim yang dibaca nashab yang menjelaskan tentang
prilaku dan keadaan.
Definisi seperti ini, tidak
dibenarkan oleh para ahli logika, sebab nashob adalah masalah hukum dari suatu struktur
kalimat atau tarkib dalam istilah ilmu nahwu.
2) Masalah
lafal AW (او), yang biasa dipakai
untuk pembagian (taqsim / (لِتَقْسِيْمٍ وَ
تَنَوُّعٍ
Hal ini tidak boleh dimasukkan ke
dalam wilayah ta’rif (definisi) had, baik ta’rif had tam maupun had naqish.
Akan tetapi boleh dimasukkan ke dalam wilayah ta’rif (definisi) rosm,
baik rosm tam maupun rosm naqish. Contoh:
i). lafal AW tidak boleh masuk
wilayah ta’rif had, seperti:
manusia
adalah binatang atau hewan yang berfikir atau tertawa atau bisa berbicara.
ii). Lafal AW dalam ta’rif rosm,
seperti:
manusia adalah hewan yang bisa tertawa atau menangis atau berfikir.
Dengan demikian, para ahli logika
berpendapat bahwa definisi yang dianggap paling sempurna adalah ta’rif had tam.
Sekalipun demikian, para filosof berpendapat bahwa untuk mendapatkan definisi
had tam dari segala sesuatu itu, harus mengenal lebih dahulu esensi segala
sesuatu tersebut, sebab apa saja yang dianggap sebagai had tam, misalnya dalam
mendefinisikan manusia dan sebagainya, tidak akan terlepas dari berbagai macam
kemungkinan sebagai salah satu pilihan dan kelonggaran.
Oleh sebab itu,
criteria yang telah dibuat oleh para ahli logika tentang had tam akan
kehilangan nilai yang sebenarnya, lantaran sifat pesimistis para filosof
terhadap had tam yang hakikatnya menjadi tanggung jawab mereka.
BAB III
KESIMPULAN
Takrif
(al-ta’rif) secara etimologi berarti pengertian atau batasan sesuatu.
Takrif disebut juga al qaul al-syarih (ungkapan yang menjelaskan) atau al-had,
yaitu
قَوْلٌ
دَالٌ عَلَى مَا هِيَةِ الشَّيْئِ
“Kalimat
yang menunjukkan hakikat sesuatu.”
Sedangkan
ta’rif secara mantiki adalah
teknik menerangkan baik dengan tulisan maupun lisan, yang dengannya diperoleh
yang jelas tentang sesuatu yang diterangkan / diperkenalkan.
Ta’rif
dibagi menjadi 4 macam, yaitu: ta’rif had (tam dan naqish), ta’rif rasm (tam
dan naqish), ta’rif dengan lafadz dan ta’rif dengan mitsal.
Syarat-syarat
ta’rif, yaitu harus jami’ mani’, harus lebih jelas dari yang dita’rifkan, harus
sama pengertiannya dengan yang dita’rifkan, tidak berputar-putar, bebas dari
penggunaan kata majazi dan kata yang mngandung banyak makna.
Dalam kaitannya dengan klasifikasi
ta’rif (definisi) dan kriterianya seperti tersebut di atas, maka para ahli
logika berpendapat bahwa hal-hal yang tidak boleh dimasukkan ke dalam ta’rif
(definisi), yaitu masalah hukum dan masalah lafal AW (او),
yang biasa dipakai untuk pembagian (taqsim / (لِتَقْسِيْمٍ
وَ تَنَوُّعٍ.
DAFTAR PUSTAKA
·
Sambas,
Syukriadi. 2000. Mantik kaidah berpikir Islam. Bandung: PT Remaja
Rusdakarya
·
Baihaki. 2002. Ilmu
Mantik Teknik dasar Berpikir Logik: Darul Ulum Press
·
Mundiri. 1998. Logika.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
·
al-Hasyimy, Muhammad Ma’shum Zainy. 2008. Zubdatul
Mantiqiyah (teori Berfikir Logis), Jombang: Darul Hikmah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar