Selasa, 18 September 2012

Penyesalan


itulah yang aku rasakan
setiap kali jiwa ini melakukan hal yang menentang
baik dhahir maupun batin
harus pergi ke manakah diri ini
Tuhan
Biarkanlah hamba terus bersamaMu
Hingga akhir hayatku

Senin, 17 September 2012

FIQH MUQARANAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Dilihat dari berbagai aspek, perbedaan merupakan kondisi alam alami (fitrah). Perbedaan berkaitan erat dengan perbedaan personal dalam batasan yang lebih jauh. Sangat mustahil terbentuk sebuah system kehidupan dan membangun interaksi social diantara manusia yang sama rata dalam berbagai hal. Sebab hal seperti itu tidak ada proses take and give diantara manusia.
Pendapat para mujtahid yang berbeda-beda itu diambil dan diikuti mayoritas umat Islam yang awam, yang dikenal dengan bermadhhab. Sehingga perbedaan it uterus melebar dan berimbas pada masyarakat Islam, yang satu dengan lainnya saling menyalahkan dan beranggapan bahwa dia dan kelompoknya saja yang paling benar. Ini sudah jelas dan pasti merusak persatuan dan persaudaraan sesame umat Islam (ukhuwah Islamiyah).
Sementara itu, setiap kelompok dan pemuka-pemukanya kurang menyadari hal ini, mungkin karena belum mengetahui atau pura-pura tidak mau mengetahui bahwa para mujtahid yang mempunyai perbedaan pendapat itu, diantara mereka tidak saling menyalahkan apalagi sampai berperinsip bahwa merekalah yang benar. Oleh karena itu perbedaan pendapat diantara mereka tetap dalam koridor etika Islam dan tidak mengakibatkan pecahnya ukhuwah Islamiyah antar mereka, karena mereka tidak hanya tahu bahwa mereka berbeda, tetapi mereka juga mengetahui mengapa mereka berbeda.
B.  RUMUSAN MASALAH
1.    Apa saja ruang lingkup muqaranah dalam hukum?
2.    Bagaimana langkah-langkah muqaranah dalam hukum!
3.    Apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang muqarin?

C.  TUJUAN
1.    Menjelaskan ruang lingkup pembahasan muqaranah dalam hukum.
2.    Menyebutkan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang muqarin.
3.    Menyebutkan secara terperinci syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang muqarin. 

BAB II
METODE MUQARANAH DALAM HUKUM
A.  PENGERTIAN FIQH MUQARANAH
Fiqh berasal dari bahasa Arab, yaitu mashdar dari faqiha, yafqahu, fiqhan yang berarti memahami, mengetahui dan memahami secara mendalam.. Sedangkan menurut istilah, fiqh adalah ilmu yang mempelajari hokum-hukum syara’ praktis yang digali dari dalil-dalilnya yang terinci.[1] Menurut ahli usul, fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil tafsil (khusus, terinci dan jelas).[2]
Muqaranah adalah isim maf’ul dari qaarana, yuqaarinu, muqaaranatan, muqaarinun yang berarti menghubungkan, mengumpulkan dan membandingkan.[3] Menurut istilah adalah kata yang berarti membandingkan  dua perkara atau lebih.[4]
Sedangkan kata Mazhahib itu adalah bentuk jamak dan berasal dari ذهب, يذهب, ذهابا, ومذهبا  yang artinya pendirian. Menurut istilah para ahli bahwa madzhab itu mempunyai dua pengertian yaitu:
1.    Pendapat salah seorang mujtahid tentang hukum suatu masalah
2.    Kaidah-kaidah istimbat yang dirumuskan oleh seorang mujtahid
Sehingga dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istimbat. Jadi, fiqih muqaranah itu ialah suatu ilmu yang mengumpulkan pendapat-pendapat suatu masalah ikhtilafiyah mengenai dalam fiqh, mengumpulkan, meneliti dan mengkaji serta mendiskusikan dalil masing-masing pendapat secara objektif, untuk dapat mengetahui pendapat yang terkuat, yaitu pendapat yang didukung oleh dalil-dalil yang terkuat, dan paling sesuai dengan jiwa, dasar dan prinsip umum syari’at Islam.[5]  
Ada juga yang berpendapat bahwa perbandingan madzhab adalah membandingkan pendapat dengan pendapat lain, mengumpulkan dan menghimpunnya, tujuannya untuk mengetahui persamaan dan perbedaanya dan mana yang lebih kuat dan tidak, dan dalil itu tidak keluar dari keaslian makna lughowinya. Dikalangan umat islam ada empat madzhab yang paling terkenal yaitu madzhab Hanafi (80 – 150H), madzhab Maliki (93 – 179 H), madzhab Syafi’i (150 – 204H), dan madzhab Hambali (164 – 241H). Selain empat madzhab tersebut, masih banyak madzhab lain seperti : Hasan Bashri, ats-Tsauri, Daud adz-Zhahiri, al-Auza’i, Syi’ah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah.[6]

B.  RUANG LINGKUP KAJIAN DAN CABANG-CABANG FIQH MUQAARAN
Berbicara tentang perbandingan hukum, sudah tentu berkaitan erat dengan persoalan pendapat yang tertuang dalam kitab-kitab hukum. Pada dasarnya perbandingan hukum hanyalah upaya untuk memperkaya informasi fiqih dan mengatasi persoalan fanatisme hukum. Setidaknya, dengan perbandingan ini kita mengetahui bahwa pendapat lain juga memiliki dalil-dalil yang bisa dipertanggungjawabkan.
Terkait dengan hal ini, ruang lingkup pembahasan perbandingan hukum antara lain adalah:
1)   Hukum-hukum amaliah, baik yang disepakati, maupun yang masih diperselisihkan antara para mujtahid.
2)   Membahas cara berijtihad para mujtahid dalam menetapkan hukum.
3)   Dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para mujtahid baik dari Alquran maupun Sunnah atau dalil lain yang diakui oleh syara’.
Sedangkan cabang-cabang fiqh muqaranah ada 4, yaitu:
1)   Muqaranah Mazhaahib Fil Fiqh (Perbandingan Madzhab)
Yang menjadi bidang kajian sub ini ialah seluruh masalah fiqh yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat, baik menyangkut ibadah, mu’amalat, munakahat (kekeluargaan), jinayat (kepidanaan) dan lain-lain.
2)   Muqaranah Madzhaahib fil Ushuul Fiqh (Ushul Fiqh Perbandingan)
Yang menjadi bidang kajian sub ini ialah seluruh masalah fiqh yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat, baik definisi-definisi, pembagian hokum, hal yang menyangkut dalil-dalil dari Alquran, Hadis, Ijma’, Qiyas, Istihsan, dan lain-lain yang termasuk pembahasan ilmu ushul fiqh.
3)   Muqaaranatusy Syaraa’i (Perbandingan Syari’at)
Yang menjadi bidang kajian sub ini ialah hukum-hukum syariat Islam yang berbeda dengan hukum syariat nasrani dan Yahudi dalam masalah tertentu.
4)    Muqaaranah fil Qawaaniinil Wadh’iyyah (Perbandingan Hukum)
Yang menjadi bidang kajian sub ini ialah seluruh bidang hukum yang berlaku di suatu tempat pada waktu tertentu, seperti hukum perdata, pidana, tatanegara dan lain-lain.[7]

C.  LANGKAH-LANGKAH MUQARANAH DALAM HUKUM
Dalam melakukan perbandingan hukum, ada beberapa langkah-langkah yang harus dilakukan oleh seorang muqarin. Di antaranya adalah:
1)   Menentukan masalah yang akan dikaji. Misalnya masalah “hukum bacaan basmalah” pada awal fatihah di dalam shalat.
2)   Menelusuri sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat antara hukum-hukum yang ada.
3)   Mengumpulkan semua pendapat ahli fiqih yang menyangkut masalah tersebut serta meneliti semua kitab-kitab fiqih dalam berbagai madzhab.
4)   Mengumpulkan semua dalil yang menjadi landasan semua pendapat yang dikutip oleh para mujtahid, baik dalil-dalil itu berupa ayat Alquran atau Sunnah, ijma dan qiyas ataupun dalil-dalil lain.
5)   Meneliti semua dalil. Yakni untuk mengetahui dalil-dalil yang lemah dan dalil-dalil kuat agar dapat diketahui kekuatannya sebagai hujjah.
6)   Menganalisa dalil dan mendiskusikannya. Yakni untuk mengetahui apakah dalil-dalil itu memang tepat digunakan pada tempatnya serta benarkah indikasinya menunjukkan kepada hukum yang dimaksud, ataukah ada kemungkinan atu alternatif yang lain.
7)   Menelusuri hikmah-hikmah yang terkandung di belakang perbedaan itu. Yakni untuk dimanfaatkan sebagai rahmat Allah SWT.[8]

D.  SYARAT-SYARAT SEORANG MUQARIN
Syarat-syarat seorang muqarin adalah sebagai berikut:
1)   Memiliki sifat ketelitian dalam mengambil pendapat hukum kitab-kitab fiqih.
2)   Hendaknya mengambil atau memilih dalil-dalil yang kuat dari setiap hukum serta tidak membatasi diri pada dalil-dalil yang lemah dalam menyelesaikan suatu masalah.
3)   Memiliki pengetahuan tentang asal usul dan kaidah yang dijadikan dasar oleh setiap hukum dalam mengambil dan menentukan hukum.
4)   Mengetahui pendapat-pendapat ulama yang tercantum dalam kitab-kitab fiqih dan disertai dalil-dalilnya. Dan harus pula mengetahui cara-cara mereka beristidlal dari dalil-dalil yang mereka jadikan pegangan.
5)   Hendaklah muqarin setelah mendiskusikan pendapat madzhab-madzhab tersebut dengan dalil-dalilnya, yakni mentarjih salah satunya secara objektif, tanpa dipengaruhi oleh pendapat hukumnya sendiri (subjektif). Dan harus benar-benar adil tanpa dipengaruhi apapun selain membela kebenaran dan keadilan semata.[9]

E.  Hukum Mengamalkan Hasil Muqaranah Madzahib
Melakukan studi perbandingan madzhab untuk mendapatkan dalil yang terkuat dan mengamalkan hasilnya adalah wajib. Meskipun sebagian ulama muta’akhirin berpendapat, bahwa mengamalkan hasil muqaranah akan mengakibatkan perpindahan madzhab atau talfiq dan tidak dibenarkan. Pendapat mereka dianggap lemah karena tidak berlandaskan dalil yang kuat. Alquran dan Alsunnah tidak melarang untuk pindah madzhab. Hasil studi perbandingan yang terbaik adalah mengamalkan apa yang menurut muqarin paling kuat dalilnya, baik bagi si muqarin atau yang sedang meneliti dalil-dalil yang terkuat untuk masalah tertentu. sehingga diumpamakan bahwa orang yang enggan mengamalkan hasil muqaaranah diperumpamakan sebagai orang yang enggan memakan buah yang kandungan gizinya lebih tinggi.[10]

F.   Tujuan dan Manfaat Mempelajari Perbandingan Madzhab
Adapun tujuan dan mamfaat mempelajari perbandingan madzhab adalah sebagai berikut
1)   Untuk mengetahui pendapat-pendapat para imam madzhab dalam berbagai masalah yang diperselisihkan hukumnya, disertai dalil-dalil atau alasan yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat, dengan mempelajari dalil yang dipakai oleh imam madzhab tersebut dalam menetapkan hukum orang yang melakukan studi perbandingan akan mendapat keuntungan ilmu pengetahuan secara sadar dan meyakinkan akan ajaran agamanya, dan akan memperoleh hujjah yang jelas dalam melaksanakan ajaran agamanya, sehingga dia tergolong kedalam kelompok orang yang disebut dalam alquran sebagai berikut:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ  
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik".[11]
Sehingga terlepas dari kelompok orang yang juga di sebutkan dalam alquran, yang ayat dan artinya sebagai berikut :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ
لا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?[12]
2)   Dapat merumuskan kaidah-kaidah dan dasar-dasar hukum yang dapat diamalkan sesuai dengan hukum Islam dan tidak bertentangan dengan lainya.[13]
3)   Untuk mengetahui dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang digunakan setiap imam madzhab dalam mengistimbatkan hukum dan dalil-dalilnya, dimana setiap imam madzhab tersebut tidak menyimpang dan tidak keluar dari dalil-dalil alquran dan alsunnah, sebagai buah dari cara ini, orang yang melakukan studi tersebut akan menjadi orang yang benar-benar menghormati semua imam madzhab tanpa membedakan yang satu dengan yang lainnya, karna padangan dan dalil yang digunakan masing-masing pada hakikatnya tidak terlepas dari aturan-aturan ijtihad. Maka sepantasnyalah orang yang mengikuti kepada salah satu imam madzhab itu mengikuti pula jejak dan petunjuk  imamnya dalam menghormati imam lain.
4)   Dengan memperhatikan landasan berfikir para imam madzhab, orang yang melakukan studi perbandingan madzhab dapat mengetahui bahwa dasar-dasar mereka pada hakikatnya tidak keluar dari nushuush Alquran dan Alsunnah, Qiyas, maslahah mursalah, istishab, atau prinsip-prinsip umum dalam nash-nash syariat Islam dalam menyelesakain semua persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakat, baik dari ibadah ataupun mu’amalah, yang dalil-dalil ijtihad itupun digali dari nash-nash Alquran dan Alsunnah. Dengan demikian orang-orang yang melakukan studi perbandingan itu akan memahami, bahwa perbuatan dan amalan sehari-hari itu dari pengikut madzhab lain, bukan diatur oleh kaum non islam.
5)   Dapat mengetahui betapa luasnya pembahasan ilmu fiqh dan betapa kayanya khazanah hukum Islam yang diwariskan untuk kita oleh para Ulama terdahulu sehingga hampir tidak ada masalah walau bagaimanapun modernnya yang tidak dijamahnya secara langsung atau tidak langsung.[14]
Sudah barang tentu tidak semua masalah aktual itu bisa dipecahkan kalau hanya berpegang pada pada satu madzhab saja, atau hanya berpegang pada satu sistem dan satu macam cara istimbath hukum, yang sepeti itu akan menjadikan atau menimbulkan kesulitan dan kesempitan bagi kita. Sedangkan menurut agama bahwa kesempitan dan kesulitan itu secara prinsipil harus dihilangkan, sebagiamana dalam Alquran dan Alsunnah menerangkan yang mana ayat dan artinya sebagai berikut:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.[15]
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur.[16]
Dalam hadis disebutkan bahwa:
يسروا ولا تعسروا وإذا غضب أحدكم فليسكت (متفق عليه عن أبي هريرة)
Permudahlah dan jangan kamu persulit, dan apabila marah salah satu diantara kamu, maka hendaklah diam-diam.

Ayat dan hadis di atas memberi kelonggaran kepada kita, dan memberi kebebasan untuk memilih mengikuti madzhab yang menurut kita dipandang lebih kuat.

G. CONTOH MUQARANAH DALAM HUKUM
Di kalangan umat Islam, termasuk Indonesia, masalah bacaan basmalah dalam salat masih diperselisihkan. Sebagian berpendapat bahwa bacaan basmalah harus dibaca keras, sementara yang lain lebih cenderung berpendapat dibaca pelan (tidak terdengar). Bahkan ada yang berpendapat tidak perlu sama sekali membaca basmalah tetapi langsung membaca hamdalah.
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa seseorang yang memjadi imam salat atau orang yang salat sendirian, ia membaca basmalah dengan pelan pada awal tiap-tiap rakaat, baik pada waktu salat yang fatihahnya dibaca keras (jahr) seperti salat maghrib, isya dan subuh,  maupun salat yang fatihahnya dibaca pelan (sirr) seperti salat dhuhur dan ashar. Sedangkan makmum, ia tidak perlu membaca basmalah karena selama ia menjadi makmum tidak diperkenankan membaca Alquran.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa membaca basmalah pada salat fardlu hukumnya makruh, baik salat sirriyah maupun jahriyah, kecuali jika orang yang salat itu bermaksud menghindari perbedaan, maka membaca basmalah dalam al-Fatihah hukumnya sunnah dan harus dibaca dengan pelan. Adapun untuk salat sunnah, membacanya hukumnya sunnah.[17]
Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa basmalah itu merupakan bagian dari al-Fatihah. Karena itu membaca basmalah hukumnya wajib sebagaimana wajibnya membaca surat al-Fatihah di dalam salat, baik salat sirriyah maupun jahriyah. Adapun cara membacanya untuk salat jahriyah basmalahnya harus dibaca keras seperti membaca fatihah. Apabila basmalahnya tidak dibaca, maka salatnya dianggap batal.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa membaca basmalah itu itu hukumnya sunnah. Orang yang salat dianjurkan membaca basmalah pada tiap-tiap rakaat dengan cara pelan. Menurut pendapat ini, bacaan basmalah bukan termasuk bagian dari surat al-Fatihah.
Dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh masing-masing pendapat adalah sebagai berikut:[18]
1)   Pendapat yang mengatakan bahwa basmalah tidak perlu dibaca bersama al-fatihah, dalilnya adalah sebagai berikut:
HR. Imam Muslim:
وَعَنْ قَتَادَةَ أَنَّهُ كَـتَبَ اِلَيْهِ يُخْبِرُهُ عَنْ اَنَسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
 وَ اَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ وَ عُثْمَانَ وَكَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ بِالْحِمْدُلِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لاَ يَذْكُرُوْنَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
 فِى اَوَّلِ الْقِرَاءَةِ وَلاَ فِى اَخِرِهَا
Dari Qatadah sesungguhnya dia menulis kepada Ahmad yang mengabarkannya dari Anas ra berkata, “Aku biasa salat di belakang Nabi saw., Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka biasa memulai salat mereka dengan membaca alhamdu lillahi rabbi al-alamin, mereka tidak menyebut bismillahirrahmanirrahim, baik pada awal bacaan (al-fatihah)  maupun pada akhirnya (sebelum membaca surat yang lain)”.[19]
Berdasarkan hadis ini mereka berkesimpulan bahwa basmalah tidak perlu dibaca bersama al-fatihah dalam salat. Pendapat ini dianut oleh ulama madhhab Malikiyah.[20]
2)   Pendapat yang mengatakan bahwa basmalah harus dibaca sir (pelan, tak terdengar) bersama al-fatihah, dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
HR. Imam al Hafizh Ali bin Umar ad-Daraquthni:
حدثنا علي بن عبد الله بن مُبَشِّر, ثنا احمد بن سِنان, ثنا زَيْد بن الحُبَّاب, اخبرني شُعبهة بن الحجّاج,
 ثنا قتادة قال: سمعتُ   اَنَس بن مالك  يقول: صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ اَبِى بَكْرٍ
 وَ عُمَرَ وَ عُثْمَانَ فلم يكونُوْا يَجْهَرُوْنَ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.
Ali bin Abdullah bin Mubasysyir menceritakan kepada kami, Ahmad bin Sinan menceritakan kepada kami, Zaid bin al-Hubbab menceritakan krpada kami, Syu’bah bin al-Hajjaj mengabarkan kepadaku, Qatadah menceritakan kepada kami, ia mengatakan: aku mendengar Anas bin Malik berkata,”Aku biasa salat di belakang Nabi saw., Abu Bakr, Umar, dan Usman. Mereka tidak menyaringkan bacaan bismillahirrahmanirrahim”.[21]
HR. Ibn Khuzaimah dari Anas ra:
وَكَانُوْا يُسِرُّوْنَ
...dan mereka itu (Nabi saw., Abu Bakar, Umar, dan Usman) biasa membaca basmalah dengan cara pelan.”
Berdasarkan hadis tersebut, mereka berkesimpulan bahwa bacaan basmalah itu perlu dibaca dalam salat bersama fatihah, namun cara membacanya harus dengan cara pelan. Pendapat ini dianut oleh kalangan hukum Hanafi dan Hanabilah.[22]
3)    Pendapat yang mengatakan bahwa basmalah harus dibaca jahr (keras) bersama al-fatihah, dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
HR. Al-Nasa’I dan Ibn Khuzaimah dari al-Nu’aim al-Mujmir:
عَنِ النُّعَيْمِ الْمُجْمِرِ قَالَ: صَلَّيْتُ وَرَاءَ اَبِى هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ ثُمَّ قَرَأ بِاُمِّ الْقُرْأَنِ
حَتَّى اِذَا بَلَغَ وَلاَ الضَّآلِيْنَ قَالَ أَمِيْنَ. وَيَقُوْلُ كُلَّمَا سَجَدَ وَإِذَا قَامَ مِنَ الجُلُوْسِ اَللَّهُ اَكْبَرُ. ثُمَّ يَقُوْلُ
 إِذَا سَلَّمَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ اِنِّى لاَ اَشْبَهَكُمْ صَلَاةً بِرَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Nu’aim al-Mujmir (al-Mujammir) berkata,”Aku pernah salat di belakang Abu Hurairah ra, kemudian ia membaca bismillahir-rahmanirrahim, kemudian membaca ummu al-Quran (al-fatihah) hingga wala al-Dallin, ia membaca amin. Dan ia membaca membaca allahu akbar ketika sujud dan bangkit dari sujud. Setelah selesai salam kemudian ia berkata:” Demi dzat yang diriku ada di tanganNya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling sesuai salatnya dengan Rasulullah saw.
HR. Al-Dar al-Qutni dari Abu Hurairah ra:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَ قَرَأْتُمُ الْفَاتِحَةَ فَاقْرَئُوْا
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ فَاِنَّهَا إِحْدَى أَيَاتِهَا
Abu Hurairah ra. Berkata, Rasulullah saw. bersabda,”Apabila kamu membaca al-fatihah maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena basmalah itu termasuk bagian dari surat al-Fatihah.
Berdasarkan hadis-hadis tersebut mereka berkesimpulan bahwa bacaan basmalah itu harus dibaca dalam salat bersama fatihah, dan cara membacanya harus keras jika dilakukan pada salat jahriyah. Jika basmalahnya tidak dibaca maka salatnya dianggap batal, karena basmalah merupakan bagian dari surat al-Fatihah yang wajib dibaca setiap melakukan salat. Pendapat ini dianut oleh ulama hukum Syafiiyah.[23]
Setelah memahami ketiga pendapat di atas, maka kami berkesimpulan bahwa madzhab Malikiyah tidak akan menghukumi batalnya salat orang yang membaca Basmalah baik dengan jahr atau sir, karena buktinya ia juga membolehkan membacanya dalam salat-salat sunnah. Begitu juga madhhab Hanafiyah dan Hambaliyah tidak akan memfonis batalnya salat yang men-jahr­-kan basmalahnya. Tetapi ingat, madzhab Syafi’iyah membatalkan salat yang tanpa Basmalah dalam Fatihahnya, maka itu harus menerapkan suatu kaidah Ushul Fiqh yang cukup terkenal, yaitu al-Khulluj min al-Khilaf mustahab (keluar dari perselisihan itu sangat dianjurkan alias lebih baik). Maka caranya kita keluar dari khilaf dalam masalah ini adalah dengan tetap membaca Basmalah secara jahr dalam salat jahr (terutama buat imam) dan dengan sir dalam salat sir, sesuai dengan pendapat madzhab Syafi’i yang telah dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia sejak dulu.

H.  KONSEP PEMELIHARAAN UKHUWAH ISLAMIAH DALAM PERBEDAAN PENDAPAT HUKUM
Quraish Shihab setelah beliau memperhatikan para ulama dalam mengkaji teks keagamaan, beliau memperkenalkan tiga konsep untuk memelihara ukhuwah Islamiah dalam kaitannya dengan perbedaan pendapat dalam memahami masalah agama yang terus berkembang hingga saat ini. Ketiga konsep tersebut adalah:
1)   Tanawwu’ al-‘ibadah (Keragaman Cara Beribadah)
Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan oleh Nabi saw. dalam bidang agama. Dengan konsep ini bisa mengantarkan seseorang kepada pengakuan akan kebenaran semua praktek keagamaan, selama masing-masing merujuk kepada sumber yang datangnya dari Rasulullah saw. [24]
Dalam konsep ini juga diperkenalkan bahwa sesungguhnya banyak cara yang dilakukan oleh Nabi saw. ketika melakukan ibadah. Seperti mengangkat kedua tangan saat takbirtul ihram, yakni banyak versi yang pernah dilakukan Rasulullah. Di antaranya mengangkat kedua tangan setengah bahu, sementara pada kesempatan lain beliau mengangkat kedua tangannya sejajar kedua daun telinganya. Demikian juga dalam bacaan iftitah saat shalat. Tidak kurang dari 12 macam redaksi Rasulullah yang telah diajarkan.[25]
2)   Al-mukhtiu fi al-ijtihad lahu ajr (orang berijtihad walaupun salah diberi pahala)
Ulama yang salah dalam berijtihad (menetapkan hukum) pun mendapat pahala. Dari konsep ini berarti selama seseorang mengikuti pendapat ulama dalam menjalankan agama maka ia tidak akan berdosa, bahkan tetap mendapatkan pahala dari Allah SWT. walaupun hasil ijtihad yag diikuti dan diamalkan itu ternyata salah.[26]Namun perlu dicatat disini bahwa penentuan benar dan salah itu bukan wewenang manusia akan tetapi wewenang Allah SWT.
Selain itu, perlu digaris bawahi bahwa ulama yang mengemukakan ijthad haruslah ulama yang memiliki otoritas keilmuan dan kompetensi tantang masalah tersebut sehingga hasil yang telah diijtihadkan dapat dipertnggungjawabkan kebenarannya.
3)   La hukma lillahi qabla ijtihad al-mujtahid (tidak ada hokum bagi Allah sebelum upaya ijtihad seorang mujtahid)
Konsep ini mengatakan bahwa Allah SWT. belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad para mujtahid. Ini berarti hasil ijtihad ulama itulah yang menjadi ketetapan hukum Allah bagi setiap masalah walaupun berbeda-beda.
Logika dalam konsep ini adalah sama halnya dengan gelas-gelas kosong yang disodorkan oleh tuan rumah dengan beragam minuman yang telah disediakan, lalu tuan rumah mempersilahkan masing-masing tamunya untuk memilih minuman yang tersedia di atas meja untuk dituangkan ke dalam gelasnya maka boleh menuangkan segelas penuh atau setengah sesuai dengan selera dan kehendaknya masing-masing, selama yang dipilih itu dari minuman yang tersedia. Apa dan Bagaimanapun isinya mengisi gelasnya dengan kopi, jika kita lebih berselera minum air jeruk. Orang lain pun tidak berhak menyalahkan kita yang kebetulan beda pilihan, yang penting sesuai dengan minuman yang disajikan tuan rumah.
Memang Alquran dan hadis Nabi saw. tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan absolut. Karena yang mutlak dan absolut hanyalah Allah dan fimanNya. Sedangkan interpretasi terhadap firman Allah itu relatif sifatnya.[27]





BAB III
PENUTUP
Simpulan
1.    Ruang lingkup muqaranah dalam hukum
a)      Hukum-hukum amaliah, baik yang disepakati, maupun yang masih diperselisihkan antara para mujtahid.
b)      Membahas cara berijtihad para mujtahid dalam menetapkan hukum.
c)      Dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para mujtahid baik dari Alquran maupun Sunnah atau dalil lain yang diakui oleh syara’.
2.    Langkah-langkah muqaranah dalam hukum, antara lain
a)      Menentukan masalah yang akan dikaji. Misalnya masalah “hukum bacaan basmalah” pada awal fatihah di dalam shalat.
b)      Menelusuri sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat antara hukum-hukum yang ada.
c)      Mengumpulkan semua pendapat ahli fiqih yang menyangkut masalah tersebut serta meneliti semua kitab-kitab fiqih dalam berbagai madzhab.
3.    Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang muqarin adalah sebagai berikut
a)      Memiliki sifat ketelitian dalam mengambil pendapat hukum kitab-kitab fiqih.
b)      Hendaknya mengambil atau memilih dalil-dalil yang kuat dari setiap hukum serta tidak membatasi diri pada dalil-dalil yang lemah dalam menyelesaikan suatu masalah.
c)      Memiliki pengetahuan tentang asal usul dan kaidah yang dijadikan dasar oleh setiap hukum dalam mengambil dan menentukan hukum.






DAFTAR PUSTAKA
al-Durainii, Moh. Fathii. 1994. Buhuutsum Muqaaranah. Syria, Muassasah Al risalah Bairut.
Hasan, M. Ali. 1997. Perbandingan Madzhab Fiqih. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Ibrahim, Muslim. 1991. Pengantar Fiqh Muqaranah. Jakarta: Erlangga.
Khatib, Hasan Ahmad. 1957. al-Fiqh al-Muqaran. Kairo: Matbaah Dar al-Ta’lif.
Nasir al-Din al-Albani, Muhammad. 1991. Sifat Salat al-Nabi min al-Takbir ila al-Taslim kaannaka Tahara. Riyadh: Maktabah al-Maarif.
Ramli. 1999. Muqaranah Mazhahib Fil Ushul. Jakarta, Gaya Media Patama.
Tahido, Huzaemah. 1997. Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakarta, logos.
Zuhdi Dh , Achmad. 2007. Fiqh Moderat. Sidoarjo: Muhammadiyah University Press.
................................ 2005. Meneladani  Tata Cara Shalat Nabi. Surabaya: PT. Karya Pembina Swajaya.








[1] Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaranah  (Jakarta: Erlangga, 1991), 4-5.
[2] Achmad Zuhdi Dh, Fiqh Moderat, (Sidoarjo:Muhammadiyah University Press, 2007), 6.
[3] Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: logos, 1997), 83.
[4] Ramli, Muqaranah Mazhahib Fil Ushul (Jakarta: Gaya Media Patama, 1999), 7.
[5] Ibrahim, Pengantar Fiqh…, 6-7.
[6] Moh. Fathii Al durainii, Buhuutsum Muqaaranah (Syria: Muassasah Al Risalah Bairut, 1994), 17
[7] Ibrahim, Pengantar Fiqh…, 9-11.
[8] Tahido, Pengantar Perbandingan…, 84.
[9] Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: logos, 1997), 85.
[10] Ibid.
[11] Alquran dan Terjemahnya, 12: 108.
[12] Ibid., 5: 104.
[13] Ibrahim, Pengantar Fiqh…, 20.
[14] Ibid.
[15] Alquran dan Terjemahnya, 2: 185.
[16] Ibid., 5: 6.
[17] Zuhdi Dh, Fiqh Moderat…, 92-93.
[18] Ibid., 93.
[19] Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya j.2, h.275, Kitab Shalat, Bab Hujjah min qaala laa yajhar bi bismillah.
[20] Zuhdi Dh, Fiqh Moderat…, 93-94.
[21] Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al Hafizh Ali bin Umar ad-Daraquthni di dalam kitab Sunannya j.1, h.830, Kitab Shalat, Bab Hujjah min qaala laa yajhar bi bismillah.
[22] Zuhdi Dh, Fiqh Moderat…, 94-95.
[23] Ibid., 96-97.
[24] Ahmad Zuhdy DH, Meneladani  Tata Cara Shalat Nabi, (Surabaya: PT. Karya Pembina Swajaya,2005), 16.
[25]Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Sifat Salat al-Nabi min al-Takbir ila al-Taslim kaannaka Tahara, (Riyadh: Maktabah al-Maarif,1991), 91-95.
[26]Hasan Ahmad Khatib, al-Fiqh al-Muqaran, (Kairo: Matbaah Dar al-Ta’lif, 1957), 37.
[27] Zuhdi, Fiqh Moderat…, 3-4.