BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dilihat dari berbagai aspek, perbedaan merupakan kondisi alam alami
(fitrah). Perbedaan berkaitan erat dengan perbedaan personal dalam
batasan yang lebih jauh. Sangat mustahil terbentuk sebuah system kehidupan dan
membangun interaksi social diantara manusia yang sama rata dalam berbagai hal.
Sebab hal seperti itu tidak ada proses take and give diantara manusia.
Pendapat para mujtahid yang berbeda-beda itu diambil dan diikuti
mayoritas umat Islam yang awam, yang dikenal dengan bermadhhab. Sehingga
perbedaan it uterus melebar dan berimbas pada masyarakat Islam, yang satu
dengan lainnya saling menyalahkan dan beranggapan bahwa dia dan kelompoknya
saja yang paling benar. Ini sudah jelas dan pasti merusak persatuan dan
persaudaraan sesame umat Islam (ukhuwah Islamiyah).
Sementara itu, setiap kelompok dan pemuka-pemukanya kurang
menyadari hal ini, mungkin karena belum mengetahui atau pura-pura tidak mau
mengetahui bahwa para mujtahid yang mempunyai perbedaan pendapat itu, diantara
mereka tidak saling menyalahkan apalagi sampai berperinsip bahwa merekalah yang
benar. Oleh karena itu perbedaan pendapat diantara mereka tetap dalam koridor
etika Islam dan tidak mengakibatkan pecahnya ukhuwah Islamiyah antar
mereka, karena mereka tidak hanya tahu bahwa mereka berbeda, tetapi mereka juga
mengetahui mengapa mereka berbeda.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
saja ruang lingkup muqaranah dalam hukum?
2.
Bagaimana
langkah-langkah muqaranah dalam hukum!
3.
Apakah
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang muqarin?
C.
TUJUAN
1.
Menjelaskan
ruang lingkup pembahasan muqaranah dalam hukum.
2.
Menyebutkan
langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang muqarin.
3.
Menyebutkan
secara terperinci syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang muqarin.
BAB II
METODE MUQARANAH DALAM HUKUM
A.
PENGERTIAN FIQH MUQARANAH
Fiqh berasal dari bahasa Arab, yaitu mashdar dari faqiha, yafqahu,
fiqhan yang berarti memahami, mengetahui dan memahami secara mendalam.. Sedangkan
menurut istilah, fiqh adalah ilmu yang mempelajari hokum-hukum syara’ praktis
yang digali dari dalil-dalilnya yang terinci. Menurut ahli usul, fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum
syara’ yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil tafsil
(khusus, terinci dan jelas).
Muqaranah
adalah isim maf’ul dari qaarana, yuqaarinu, muqaaranatan, muqaarinun
yang berarti menghubungkan, mengumpulkan dan
membandingkan. Menurut istilah adalah kata yang berarti
membandingkan dua perkara atau lebih.
Sedangkan kata Mazhahib itu adalah bentuk jamak dan berasal dari ذهب,
يذهب, ذهابا, ومذهبا yang artinya
pendirian. Menurut istilah para ahli bahwa madzhab itu mempunyai dua pengertian yaitu:
1. Pendapat salah seorang mujtahid
tentang hukum suatu masalah
2. Kaidah-kaidah istimbat yang
dirumuskan oleh seorang mujtahid
Sehingga dari dua pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam tentang hukum
suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istimbat. Jadi, fiqih
muqaranah itu ialah suatu ilmu yang mengumpulkan pendapat-pendapat suatu
masalah ikhtilafiyah mengenai dalam fiqh, mengumpulkan, meneliti dan mengkaji
serta mendiskusikan dalil masing-masing pendapat secara objektif, untuk dapat
mengetahui pendapat yang terkuat, yaitu pendapat yang didukung oleh dalil-dalil
yang terkuat, dan paling sesuai dengan jiwa, dasar dan prinsip umum syari’at
Islam.
Ada juga yang berpendapat bahwa
perbandingan madzhab adalah membandingkan pendapat dengan pendapat lain,
mengumpulkan dan menghimpunnya, tujuannya untuk mengetahui persamaan dan
perbedaanya dan mana yang lebih kuat dan tidak, dan dalil itu tidak keluar dari
keaslian makna lughowinya. Dikalangan umat islam ada empat madzhab yang paling
terkenal yaitu madzhab Hanafi (80 – 150H), madzhab Maliki (93 – 179 H), madzhab
Syafi’i (150 – 204H), dan madzhab Hambali (164 – 241H). Selain empat madzhab tersebut, masih
banyak madzhab lain seperti : Hasan Bashri, ats-Tsauri, Daud adz-Zhahiri,
al-Auza’i, Syi’ah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah.
B.
RUANG LINGKUP KAJIAN DAN CABANG-CABANG FIQH MUQAARAN
Berbicara
tentang perbandingan hukum, sudah tentu berkaitan erat
dengan persoalan pendapat yang tertuang dalam kitab-kitab hukum. Pada dasarnya
perbandingan hukum hanyalah upaya untuk memperkaya
informasi fiqih dan mengatasi persoalan fanatisme hukum. Setidaknya, dengan
perbandingan ini kita mengetahui bahwa pendapat lain juga memiliki dalil-dalil
yang bisa dipertanggungjawabkan.
Terkait dengan hal ini, ruang lingkup
pembahasan perbandingan hukum antara lain adalah:
1) Hukum-hukum amaliah, baik yang disepakati, maupun yang masih diperselisihkan
antara para mujtahid.
2) Membahas cara berijtihad para mujtahid dalam menetapkan hukum.
3) Dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para mujtahid baik dari Alquran
maupun Sunnah atau dalil lain yang diakui oleh syara’.
Sedangkan cabang-cabang fiqh muqaranah ada 4, yaitu:
1)
Muqaranah
Mazhaahib Fil Fiqh (Perbandingan
Madzhab)
Yang menjadi bidang kajian sub ini
ialah seluruh masalah fiqh yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat, baik
menyangkut ibadah, mu’amalat, munakahat (kekeluargaan), jinayat (kepidanaan)
dan lain-lain.
2)
Muqaranah
Madzhaahib fil Ushuul Fiqh (Ushul Fiqh
Perbandingan)
Yang menjadi
bidang kajian sub ini ialah seluruh masalah fiqh yang di dalamnya terdapat
perbedaan pendapat, baik definisi-definisi, pembagian hokum, hal yang
menyangkut dalil-dalil dari Alquran, Hadis, Ijma’, Qiyas, Istihsan, dan
lain-lain yang termasuk pembahasan ilmu ushul fiqh.
3)
Muqaaranatusy Syaraa’i (Perbandingan Syari’at)
Yang menjadi bidang kajian sub ini
ialah hukum-hukum
syariat Islam yang berbeda dengan hukum syariat nasrani dan Yahudi dalam
masalah tertentu.
4)
Muqaaranah fil Qawaaniinil Wadh’iyyah (Perbandingan Hukum)
Yang menjadi bidang kajian sub ini
ialah seluruh bidang
hukum yang berlaku di suatu tempat pada waktu tertentu, seperti hukum perdata,
pidana, tatanegara dan lain-lain.
C. LANGKAH-LANGKAH MUQARANAH DALAM
HUKUM
Dalam melakukan
perbandingan hukum, ada beberapa langkah-langkah yang harus dilakukan oleh
seorang muqarin. Di antaranya adalah:
1)
Menentukan
masalah yang akan dikaji. Misalnya masalah
“hukum bacaan basmalah” pada awal fatihah di dalam shalat.
2)
Menelusuri sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat antara hukum-hukum yang ada.
3)
Mengumpulkan
semua pendapat ahli fiqih yang menyangkut masalah tersebut serta
meneliti semua kitab-kitab fiqih dalam berbagai madzhab.
4)
Mengumpulkan semua dalil yang menjadi landasan
semua pendapat yang dikutip oleh para mujtahid, baik dalil-dalil itu berupa
ayat Alquran atau Sunnah, ijma dan qiyas ataupun dalil-dalil lain.
5)
Meneliti semua dalil. Yakni untuk mengetahui
dalil-dalil yang lemah dan dalil-dalil kuat agar dapat diketahui kekuatannya
sebagai hujjah.
6)
Menganalisa dalil dan mendiskusikannya. Yakni
untuk mengetahui apakah dalil-dalil itu memang tepat digunakan pada tempatnya
serta benarkah indikasinya menunjukkan kepada hukum yang dimaksud, ataukah ada
kemungkinan atu alternatif yang lain.
7)
Menelusuri hikmah-hikmah yang terkandung di
belakang perbedaan itu. Yakni untuk dimanfaatkan sebagai rahmat Allah SWT.
D. SYARAT-SYARAT
SEORANG MUQARIN
Syarat-syarat seorang muqarin adalah
sebagai berikut:
1) Memiliki sifat ketelitian dalam mengambil
pendapat hukum kitab-kitab fiqih.
2) Hendaknya mengambil atau memilih
dalil-dalil yang kuat dari setiap hukum serta tidak membatasi
diri pada dalil-dalil yang lemah dalam menyelesaikan suatu masalah.
3) Memiliki pengetahuan tentang asal usul dan kaidah yang dijadikan
dasar oleh setiap hukum dalam mengambil dan menentukan hukum.
4) Mengetahui pendapat-pendapat ulama yang tercantum
dalam kitab-kitab fiqih dan disertai dalil-dalilnya. Dan harus pula
mengetahui cara-cara mereka beristidlal dari
dalil-dalil yang mereka jadikan pegangan.
5) Hendaklah muqarin setelah
mendiskusikan pendapat madzhab-madzhab tersebut dengan dalil-dalilnya, yakni
mentarjih salah satunya secara objektif, tanpa dipengaruhi oleh pendapat
hukumnya sendiri (subjektif). Dan harus benar-benar
adil tanpa dipengaruhi apapun selain membela kebenaran dan keadilan semata.
E. Hukum Mengamalkan Hasil Muqaranah Madzahib
Melakukan studi perbandingan madzhab untuk mendapatkan
dalil yang terkuat dan mengamalkan hasilnya adalah wajib. Meskipun sebagian
ulama muta’akhirin berpendapat, bahwa mengamalkan hasil muqaranah akan
mengakibatkan perpindahan madzhab atau talfiq dan tidak dibenarkan. Pendapat
mereka dianggap lemah karena tidak berlandaskan dalil yang kuat. Alquran dan
Alsunnah tidak melarang untuk pindah madzhab. Hasil studi perbandingan yang
terbaik adalah mengamalkan apa yang menurut muqarin paling kuat dalilnya, baik
bagi si muqarin atau yang sedang meneliti dalil-dalil yang terkuat untuk
masalah tertentu. sehingga diumpamakan bahwa orang yang enggan mengamalkan hasil
muqaaranah diperumpamakan sebagai orang yang enggan memakan buah yang kandungan
gizinya lebih tinggi.
F.
Tujuan
dan Manfaat
Mempelajari Perbandingan Madzhab
Adapun tujuan
dan mamfaat mempelajari perbandingan madzhab adalah sebagai berikut
1) Untuk
mengetahui pendapat-pendapat para imam madzhab dalam berbagai masalah yang diperselisihkan
hukumnya, disertai
dalil-dalil atau alasan yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat, dengan
mempelajari dalil yang dipakai oleh imam madzhab tersebut dalam menetapkan
hukum orang yang melakukan studi perbandingan akan mendapat keuntungan ilmu
pengetahuan secara sadar dan meyakinkan akan ajaran agamanya, dan akan
memperoleh hujjah yang jelas dalam melaksanakan ajaran agamanya, sehingga dia
tergolong kedalam kelompok orang yang disebut dalam alquran sebagai berikut:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا
وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah:
"Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada
Termasuk orang-orang yang musyrik".
Sehingga terlepas
dari kelompok orang yang juga di sebutkan dalam alquran, yang ayat dan artinya sebagai berikut :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا
وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ
لا يَعْلَمُونَ شَيْئًا
وَلا يَهْتَدُونَ
Apabila dikatakan
kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti
Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati
bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga
nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa
dan tidak (pula) mendapat petunjuk?
2)
Dapat merumuskan kaidah-kaidah dan dasar-dasar hukum yang
dapat diamalkan sesuai dengan hukum Islam dan tidak bertentangan dengan lainya.
3)
Untuk mengetahui dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang digunakan setiap imam madzhab
dalam mengistimbatkan hukum dan dalil-dalilnya, dimana setiap imam madzhab
tersebut tidak menyimpang dan tidak keluar dari dalil-dalil alquran dan
alsunnah, sebagai buah dari cara ini, orang yang melakukan studi tersebut akan
menjadi orang yang benar-benar menghormati semua imam madzhab tanpa membedakan
yang satu dengan yang lainnya, karna padangan dan dalil yang digunakan masing-masing
pada hakikatnya tidak terlepas dari aturan-aturan ijtihad. Maka sepantasnyalah
orang yang mengikuti kepada salah satu imam madzhab itu mengikuti pula jejak
dan petunjuk imamnya dalam menghormati
imam lain.
4) Dengan memperhatikan landasan berfikir para
imam madzhab, orang yang melakukan studi perbandingan madzhab dapat mengetahui
bahwa dasar-dasar mereka pada hakikatnya tidak keluar dari nushuush Alquran dan
Alsunnah, Qiyas, maslahah mursalah, istishab, atau prinsip-prinsip umum dalam
nash-nash syariat Islam dalam menyelesakain semua persoalan yang ada dalam
kehidupan masyarakat, baik dari ibadah ataupun mu’amalah, yang dalil-dalil ijtihad
itupun digali dari nash-nash Alquran dan Alsunnah. Dengan demikian orang-orang yang
melakukan studi perbandingan itu akan memahami, bahwa perbuatan dan amalan
sehari-hari itu dari pengikut madzhab lain, bukan diatur oleh kaum non islam.
5) Dapat mengetahui betapa
luasnya pembahasan ilmu fiqh dan betapa kayanya khazanah hukum Islam yang
diwariskan untuk kita oleh para Ulama terdahulu sehingga hampir tidak ada
masalah walau bagaimanapun modernnya yang tidak dijamahnya secara langsung atau
tidak langsung.
Sudah barang tentu tidak semua masalah aktual itu bisa dipecahkan kalau hanya berpegang pada pada satu madzhab saja, atau hanya berpegang
pada satu sistem dan satu macam cara istimbath hukum, yang sepeti itu akan
menjadikan atau menimbulkan kesulitan dan kesempitan bagi kita. Sedangkan menurut
agama bahwa kesempitan dan kesulitan itu secara prinsipil harus dihilangkan,
sebagiamana dalam Alquran dan Alsunnah menerangkan yang mana ayat dan artinya
sebagai berikut:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ
يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya
bagimu, supaya kamu bersyukur.
Dalam hadis disebutkan bahwa:
يسروا ولا تعسروا وإذا غضب أحدكم فليسكت (متفق عليه عن
أبي هريرة)
Permudahlah
dan jangan kamu persulit, dan apabila marah salah satu diantara kamu, maka
hendaklah diam-diam.
Ayat dan hadis di atas memberi kelonggaran kepada kita, dan memberi
kebebasan untuk memilih mengikuti madzhab yang menurut kita dipandang lebih
kuat.
G. CONTOH MUQARANAH DALAM HUKUM
Di kalangan umat
Islam, termasuk Indonesia, masalah bacaan basmalah dalam salat masih
diperselisihkan. Sebagian berpendapat bahwa bacaan basmalah harus dibaca keras,
sementara yang lain lebih cenderung berpendapat dibaca pelan (tidak terdengar).
Bahkan ada yang berpendapat tidak perlu sama sekali membaca basmalah tetapi
langsung membaca hamdalah.
Ulama Hanafiah
berpendapat bahwa seseorang yang memjadi imam salat atau orang yang salat
sendirian, ia membaca basmalah dengan pelan pada awal tiap-tiap rakaat, baik
pada waktu salat yang fatihahnya dibaca keras (jahr) seperti salat maghrib, isya dan subuh, maupun salat yang fatihahnya dibaca pelan (sirr) seperti salat dhuhur dan ashar.
Sedangkan makmum, ia tidak perlu membaca basmalah karena selama ia menjadi
makmum tidak diperkenankan membaca Alquran.
Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa membaca basmalah pada salat fardlu hukumnya makruh, baik
salat sirriyah maupun jahriyah, kecuali jika orang yang salat
itu bermaksud menghindari perbedaan, maka membaca basmalah dalam al-Fatihah
hukumnya sunnah dan harus dibaca dengan pelan. Adapun untuk salat sunnah,
membacanya hukumnya sunnah.
Ulama Syafiiyah
berpendapat bahwa basmalah itu merupakan bagian dari al-Fatihah. Karena itu
membaca basmalah hukumnya wajib sebagaimana wajibnya membaca surat al-Fatihah
di dalam salat, baik salat sirriyah
maupun jahriyah. Adapun cara
membacanya untuk salat jahriyah
basmalahnya harus dibaca keras seperti membaca fatihah. Apabila basmalahnya
tidak dibaca, maka salatnya dianggap batal.
Ulama Hanabilah
berpendapat bahwa membaca basmalah itu itu hukumnya sunnah. Orang yang salat
dianjurkan membaca basmalah pada tiap-tiap rakaat dengan cara pelan. Menurut
pendapat ini, bacaan basmalah bukan termasuk bagian dari surat al-Fatihah.
Dalil-dalil yang
dijadikan pegangan oleh masing-masing pendapat adalah sebagai berikut:
1)
Pendapat yang mengatakan bahwa basmalah tidak perlu dibaca
bersama al-fatihah, dalilnya adalah sebagai berikut:
HR. Imam Muslim:
وَعَنْ
قَتَادَةَ أَنَّهُ كَـتَبَ اِلَيْهِ يُخْبِرُهُ عَنْ اَنَسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَ اَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ وَ عُثْمَانَ وَكَانُوْا
يَسْتَفْتِحُوْنَ بِالْحِمْدُلِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لاَ يَذْكُرُوْنَ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
فِى اَوَّلِ الْقِرَاءَةِ وَلاَ فِى اَخِرِهَا
Dari Qatadah sesungguhnya dia
menulis kepada Ahmad yang mengabarkannya dari Anas ra berkata, “Aku biasa
salat di belakang Nabi saw., Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka biasa memulai
salat mereka dengan membaca alhamdu lillahi rabbi al-alamin, mereka tidak menyebut bismillahirrahmanirrahim, baik pada awal
bacaan (al-fatihah) maupun pada akhirnya (sebelum membaca
surat yang lain)”.
Berdasarkan hadis ini mereka berkesimpulan bahwa basmalah
tidak perlu dibaca bersama al-fatihah dalam salat.
Pendapat ini dianut oleh ulama madhhab Malikiyah.
2)
Pendapat yang mengatakan bahwa basmalah harus dibaca sir (pelan,
tak terdengar) bersama al-fatihah, dalil-dalilnya adalah sebagai
berikut:
HR. Imam al Hafizh Ali
bin Umar ad-Daraquthni:
حدثنا علي بن عبد الله بن مُبَشِّر, ثنا احمد بن سِنان,
ثنا زَيْد بن الحُبَّاب, اخبرني شُعبهة بن الحجّاج,
ثنا
قتادة قال: سمعتُ اَنَس بن مالك يقول: صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِى صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ اَبِى بَكْرٍ
وَ عُمَرَ وَ عُثْمَانَ فلم يكونُوْا
يَجْهَرُوْنَ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.
Ali bin Abdullah bin Mubasysyir
menceritakan kepada kami, Ahmad bin Sinan menceritakan kepada kami, Zaid bin
al-Hubbab menceritakan krpada kami, Syu’bah bin al-Hajjaj mengabarkan kepadaku,
Qatadah menceritakan kepada kami, ia mengatakan: aku mendengar Anas bin Malik
berkata,”Aku biasa salat di belakang Nabi saw., Abu Bakr, Umar, dan Usman.
Mereka tidak menyaringkan bacaan bismillahirrahmanirrahim”.
HR. Ibn Khuzaimah dari Anas ra:
وَكَانُوْا
يُسِرُّوْنَ
...dan mereka itu (Nabi saw., Abu Bakar, Umar,
dan Usman) biasa membaca basmalah dengan cara pelan.”
Berdasarkan hadis tersebut, mereka berkesimpulan
bahwa bacaan basmalah itu perlu dibaca dalam salat bersama fatihah, namun cara
membacanya harus dengan cara pelan. Pendapat ini dianut oleh kalangan hukum
Hanafi dan Hanabilah.
3)
Pendapat yang mengatakan bahwa basmalah harus dibaca jahr
(keras) bersama al-fatihah, dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
HR. Al-Nasa’I dan Ibn Khuzaimah dari
al-Nu’aim al-Mujmir:
عَنِ
النُّعَيْمِ الْمُجْمِرِ قَالَ: صَلَّيْتُ وَرَاءَ اَبِى هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ ثُمَّ قَرَأ بِاُمِّ الْقُرْأَنِ
حَتَّى
اِذَا بَلَغَ وَلاَ الضَّآلِيْنَ قَالَ أَمِيْنَ. وَيَقُوْلُ كُلَّمَا سَجَدَ
وَإِذَا قَامَ مِنَ الجُلُوْسِ اَللَّهُ اَكْبَرُ. ثُمَّ يَقُوْلُ
إِذَا سَلَّمَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ
اِنِّى لاَ اَشْبَهَكُمْ صَلَاةً بِرَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Nu’aim al-Mujmir (al-Mujammir)
berkata,”Aku pernah salat di belakang Abu Hurairah ra, kemudian ia membaca
bismillahir-rahmanirrahim, kemudian membaca ummu al-Quran (al-fatihah) hingga wala al-Dallin, ia membaca amin. Dan ia membaca
membaca allahu akbar ketika sujud dan bangkit dari sujud.
Setelah selesai salam kemudian ia berkata:” Demi dzat yang diriku
ada di tanganNya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling sesuai salatnya
dengan Rasulullah saw.
HR. Al-Dar al-Qutni dari Abu Hurairah ra:
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَ قَرَأْتُمُ الْفَاتِحَةَ فَاقْرَئُوْا
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ فَاِنَّهَا إِحْدَى أَيَاتِهَا
Abu Hurairah ra. Berkata,
Rasulullah saw. bersabda,”Apabila kamu membaca al-fatihah maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena basmalah
itu termasuk bagian dari surat al-Fatihah.
Berdasarkan hadis-hadis tersebut mereka
berkesimpulan bahwa bacaan basmalah itu harus dibaca dalam salat bersama
fatihah, dan cara membacanya harus keras jika dilakukan pada salat jahriyah. Jika basmalahnya tidak dibaca
maka salatnya dianggap batal, karena basmalah merupakan bagian dari surat
al-Fatihah yang wajib dibaca setiap melakukan salat. Pendapat ini dianut oleh
ulama hukum Syafiiyah.
Setelah memahami ketiga pendapat di atas, maka
kami berkesimpulan bahwa madzhab Malikiyah tidak akan menghukumi batalnya salat
orang yang membaca Basmalah baik dengan jahr atau sir, karena
buktinya ia juga membolehkan membacanya dalam salat-salat sunnah. Begitu juga madhhab Hanafiyah dan
Hambaliyah tidak akan memfonis batalnya salat yang men-jahr-kan
basmalahnya. Tetapi ingat, madzhab Syafi’iyah membatalkan salat yang
tanpa Basmalah dalam Fatihahnya, maka itu harus menerapkan suatu kaidah Ushul
Fiqh yang cukup terkenal, yaitu al-Khulluj min al-Khilaf mustahab (keluar
dari perselisihan itu sangat dianjurkan alias lebih baik). Maka caranya
kita keluar dari khilaf dalam masalah ini adalah dengan tetap membaca Basmalah
secara jahr dalam salat jahr (terutama buat imam) dan dengan sir
dalam salat sir, sesuai dengan pendapat madzhab Syafi’i yang telah dianut oleh sebagian besar
umat Islam Indonesia sejak dulu.
H. KONSEP PEMELIHARAAN UKHUWAH
ISLAMIAH DALAM PERBEDAAN PENDAPAT
HUKUM
Quraish Shihab
setelah beliau memperhatikan para ulama dalam mengkaji teks keagamaan, beliau
memperkenalkan tiga konsep untuk memelihara ukhuwah
Islamiah dalam kaitannya dengan perbedaan pendapat dalam memahami masalah
agama yang terus berkembang hingga saat ini. Ketiga konsep tersebut adalah:
1) Tanawwu’ al-‘ibadah (Keragaman Cara Beribadah)
Konsep ini mengakui adanya keragaman yang
dipraktekkan oleh Nabi saw. dalam bidang agama. Dengan konsep ini bisa
mengantarkan seseorang kepada pengakuan akan kebenaran semua praktek keagamaan,
selama masing-masing merujuk kepada sumber yang datangnya dari Rasulullah saw.
Dalam konsep ini juga diperkenalkan bahwa
sesungguhnya banyak cara yang dilakukan oleh Nabi saw. ketika melakukan ibadah.
Seperti mengangkat kedua tangan saat takbirtul ihram, yakni banyak versi yang
pernah dilakukan Rasulullah. Di antaranya mengangkat kedua tangan setengah
bahu, sementara pada kesempatan lain beliau mengangkat kedua tangannya sejajar
kedua daun telinganya. Demikian juga dalam bacaan iftitah saat shalat. Tidak
kurang dari 12 macam redaksi Rasulullah yang telah diajarkan.
2)
Al-mukhtiu
fi al-ijtihad lahu ajr (orang berijtihad walaupun salah diberi
pahala)
Ulama yang salah dalam berijtihad (menetapkan hukum)
pun mendapat pahala. Dari konsep ini
berarti selama seseorang mengikuti pendapat ulama dalam menjalankan agama maka
ia tidak akan berdosa, bahkan tetap mendapatkan pahala dari Allah SWT. walaupun
hasil ijtihad yag diikuti dan diamalkan itu ternyata salah.Namun
perlu dicatat disini bahwa penentuan benar dan salah itu bukan wewenang manusia
akan tetapi wewenang Allah SWT.
Selain itu, perlu digaris bawahi bahwa ulama yang
mengemukakan ijthad haruslah ulama yang memiliki otoritas keilmuan dan
kompetensi tantang masalah tersebut sehingga hasil yang telah diijtihadkan
dapat dipertnggungjawabkan kebenarannya.
3) La hukma
lillahi qabla ijtihad al-mujtahid (tidak ada hokum bagi Allah sebelum upaya ijtihad seorang mujtahid)
Konsep ini
mengatakan bahwa Allah SWT. belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad
para mujtahid. Ini berarti hasil ijtihad ulama itulah yang menjadi ketetapan
hukum Allah bagi setiap masalah walaupun berbeda-beda.
Logika dalam konsep
ini adalah sama halnya dengan gelas-gelas kosong yang disodorkan oleh tuan
rumah dengan beragam minuman yang telah disediakan, lalu tuan rumah
mempersilahkan masing-masing tamunya untuk memilih minuman yang tersedia di
atas meja untuk dituangkan ke dalam gelasnya maka boleh menuangkan segelas
penuh atau setengah sesuai dengan selera dan kehendaknya masing-masing, selama
yang dipilih itu dari minuman yang tersedia. Apa dan Bagaimanapun isinya
mengisi gelasnya dengan kopi, jika kita lebih berselera minum air jeruk. Orang
lain pun tidak berhak menyalahkan kita yang kebetulan beda pilihan, yang
penting sesuai dengan minuman yang disajikan tuan rumah.
Memang Alquran dan
hadis Nabi saw. tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan absolut.
Karena yang mutlak dan absolut hanyalah Allah dan fimanNya. Sedangkan
interpretasi terhadap firman Allah itu relatif sifatnya.
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
1.
Ruang
lingkup muqaranah dalam hukum
a) Hukum-hukum amaliah, baik yang disepakati, maupun yang masih
diperselisihkan antara para mujtahid.
b) Membahas cara berijtihad para mujtahid dalam menetapkan hukum.
c) Dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para mujtahid baik dari Alquran
maupun Sunnah atau dalil lain yang diakui oleh syara’.
2.
Langkah-langkah
muqaranah dalam hukum, antara lain
a)
Menentukan
masalah yang akan dikaji. Misalnya masalah
“hukum bacaan basmalah” pada awal fatihah di dalam shalat.
b)
Menelusuri sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat antara hukum-hukum yang ada.
c)
Mengumpulkan
semua pendapat ahli fiqih yang menyangkut masalah tersebut serta
meneliti semua kitab-kitab fiqih dalam berbagai madzhab.
3.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
muqarin adalah sebagai berikut
a)
Memiliki
sifat ketelitian dalam mengambil pendapat
hukum kitab-kitab fiqih.
b)
Hendaknya
mengambil atau memilih dalil-dalil yang kuat dari
setiap hukum serta tidak membatasi diri
pada dalil-dalil yang lemah dalam menyelesaikan suatu masalah.
c)
Memiliki
pengetahuan tentang asal usul dan kaidah yang dijadikan dasar oleh setiap hukum
dalam mengambil dan menentukan hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Durainii, Moh. Fathii. 1994. Buhuutsum Muqaaranah. Syria, Muassasah
Al risalah Bairut.
Hasan, M. Ali. 1997. Perbandingan Madzhab Fiqih. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada.
Ibrahim, Muslim. 1991. Pengantar Fiqh
Muqaranah. Jakarta: Erlangga.
Khatib, Hasan Ahmad. 1957. al-Fiqh al-Muqaran. Kairo: Matbaah Dar al-Ta’lif.
Nasir al-Din
al-Albani, Muhammad. 1991. Sifat
Salat al-Nabi min al-Takbir ila al-Taslim kaannaka Tahara. Riyadh: Maktabah al-Maarif.
Ramli. 1999. Muqaranah Mazhahib Fil Ushul. Jakarta, Gaya Media Patama.
Tahido, Huzaemah. 1997. Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakarta, logos.
Zuhdi Dh ,
Achmad. 2007. Fiqh Moderat. Sidoarjo: Muhammadiyah University Press.