Selasa, 19 Juni 2012

TAFSIR AL MUNIR AGH. DAUD ISMAIL


TAFSIR AL MUNIR AGH. DAUD ISMAIL

A.    Biografi Singkat AGH. Daud Ismail
Tanggal 30 Desember 1908 di Cenrana, Soppeng lahir seorang bayi berjenis kelamin laki-laki dari pasangan Haji Ismail bin Baco Poso dengan isterinya Hajah Pompola binti Latalibe. Pasangan suami isteri tersebut memberi nama bayinya Daud, sehingga kalau nama tersebut dilengkapi dengan nama ayahnya, maka bayi tersebut bernama lengkap Daud Ismail. Kedua orangtuanya merupakan orang yang terpandang dan tokoh masyarakat di daerah ini. Ayahnya dikenal sebagai Khatib dan Parewa Syara, di distrik Soppeng dengan panggilan akrabnya Katte’ Maila (Ismail). Selain itu Haji Ismail juga dikenal sebagai guru mengaji Alquran di desa Cenrana disela-sela pekerjaannya sebagai seorang petani. Oleh karena itu,
maka tidak aneh bila kedua orangtuanya sangat mendambakan anak lelaki satusatunyaitu kelak menjadi seorang panrita (ulama).
Gurutta Haji Daud Ismail adalah anak bungsu dan satu-satunya laki-laki dari sebelas bersaudara. Gurutta Haji Daud Ismail tiga kali menikah yaitu pertama mengawini Hajah Marellung pada tahun tahun 1932. Dari perkawinannya Hajah Marellung, Gurutta Haji Daud Ismail memperoleh dua orang putera yaitu Haji Ahmad Daud dan Kyai Haji M. Basri Daud, Lc.
Kemudian Gurutta Haji Daud Ismail menikah kedua kalinya dengan Hajah Salehah setelah istri pertamanya meninggal dunia. Pada perkawinannya yang kedua ini beliau tidak dikaruniai anak seorangpun. Pada tahun 1942, Gurutta Haji Daud Ismail kembali melangsungkan pernikahannya yang ketiga dengan Hajah Farida hingga beliau wafat pada tanggal 21 Agustus 2006 M bertepatan dengan tanggal 28 Rajab 1427 Hijrah dalam usia 98 tahun.
Hasil pernikahannya yang ketiga ini beliau dikaruniai tiga orang anak masing-masing yaitu Hajah Syamsul Huda, Hajah Nur Inayah Daud, SH, dan Drs. H.M. Rusydi Daud. Anak-anak yang lahir dari ketiga istrinya sebanyak lima orang, tiga laki-laki dan dua perempuan, yang masih hidup sampai sekarang tinggal dua orang, anak dari isteri ketiganya. AGH. Daud Ismail memiliki banyak guru. Antara tahun 1930–1942 beliau berguru pada Gurutta Kyai Haji Muhammad As’ad di Sengkang, seorang ulama Bugis kelahiran Makkah Al Mukarramah.[1]
Menurut penuturan Prof. Dr. H. Mappanganro MA, salah seorang murid Gurutta Haji Daud Ismail sebagaimana dikutip oleh Masalim Katu mengungkapkan bahwa terdapat beberapa orang murid Gurutta Sade yang kemudian menjadi ulama besar di Sulawesi Selatan dengan keahlian dan spesifikasi ilmu agama Islam yang berbeda-beda.
Ulama-ulama yang dimaksud antara lain adalah pertama, AGH. Daud Ismail, ulama yang ahli dalam bidang Ilmu Hadits dan Tafsir. Beliau juga dikenal sebagai pemimpin dan pendiri Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB) di Soppeng, kedua, AGH. Abdurrahman Ambo Dalle, ahli dalam bidang Ilmu Tauhid pemimpin Pondok Pesantren Darud Dakwah wal Irsyad (DDI) di Kabalangang Pinrang dan Pare-Pare, ketiga, AGH. Abd. Muin Yusuf, pemimpin Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqa di Sidrap ahli dalam bidang Dakwah Islamiyah, keempat, AGH. M. Yunus Maratan, ahli dalam bidang Ilmu Fiqhi yang kemudian beliau dipercaya untuk memimpin Pondok Pesantren As’adiyah di Wajo setelah periode kepemimpinan AGH. Daud Ismail, kelima, AGH. M. Abduh Pabbaja di Pare-Pare ahli dalam bidang Bahasa Arab sehingga beliau memperoleh sebutan sebagai Munjid berjalan (Kamus Besar Bahasa Arab yang diambil dari nama penyusunnya), dan keenam, AGH. M. Junaid Ismail di Bone sebagai seorang hufadz atau penghafal Alquran.
AGH.Daud Ismail dalam mengembangkan syiar Islam dengan berbagai macam cara antara lain selain dakwah bil lisan yaitu dengan memberikan ceramah-ceramah agama pada masyarakat, baik melalui jalur pendidikan formal maupun semi formal yaitu dengan mendirikan pondok pesantren. Selain itu, beliau juga menempuh jalur struktural birokratis pemerintahan baik sewaktu beliau masih berkedudukan sebagai pegawai negeri sipil maupun sewaktu beliau menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Kabupaten Soppeng. Penyebaran dan pengembangan syiar Islam juga beliau salurkan melalui tulisan-tulisan yang beliau hasilkan.[2]

B.     Karya-Karya Daud Ismail
Di antara karya-karya AGH. Daud Ismail yang berupa tulisan berbentuk lembaran-lembaran, brosur-brosur serta kitab-kitab yang beliau susun banyak yang telah dicetak dan diterbitkan untuk dipublikasikan kepada masyarakat. Diantara karya-karya beliau adalah:
1)      Kitab Tafsir Al Munir terdiri atas 30 Juz. Kitab Tafsir ini di tulis dalam bahasa Bugis dan telah di cetak dan diplikasikan kepada masyarakat;
2)      Riwayat Hidup AG. Kyai Haji Muhammad As’ad (Gurutta Sade) yang ditulis dalam tiga bahasa yaitu Bahasa Bugis, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Arab;
3)      Pengetahuan Dasar Islam terdiri atas 3 jilid;
4)      Hukum Puasa;
5)      Hukum Shalat;
6)      Hukum Nikah;
7)      Kumpulan Khutbah Jumat;
8)      Kumpulan Doa-Doa; dan
9)      Fatwa-Fatwa.

C.    Metodologi Tafsir al-Munir
a. Ittijah (Pendekatan) Tafsir
Sebagai sebuah disiplin ilmu, tafsir tidak terlepas dari Pendekatan (approach), yakni suatu cara yang sistimatis untuk mencapai tingkat pemahaman yang benar tentang pesan al-Qur’an yang dikehendaki Allah. Dengan demikian, pendekatan tafsir dapat diartikan sebagai suatu prosedur sistematis yang diikuti dalam upaya memahami dan menjelaskan maksud kandungan al-Qur’an.
Dilihat dari pendekatan penafsirannya, tafsir Daud Ismail ini penganut tafsir bi al-ma’tsûr, hal ini bisa dilihat dari ungkapannya yang mengatakan “nyi akoreG saisnmuto tpEeserai saisn”, banyaknya kutipan-kutipan al-Qur’an hadis ataupun atsar yang dikutipnya. Sebagai contoh diantaranya: disiplin ilmu yang mempengaruhi seorang penafsir.
1)      Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an: ketika menafsirkan surat al-Zalzalah ayat 7-8, beliau mengutip juga surat al-Anbiya ayat 47 sebagai penjelasannya,[3] dengan mengatakan “nyi ay mtuCuea rierkuwearo ynritu mkdnai puwaltal: naiyya aya natuncué rirekkuwaéro yanaritu makkadanai puangalla ta’ala; (adapun ayat yang menjelaskan ayat tersebut yaitu sebagaimana Allah berfirman [kemudian  surat al-Anbiya 47 ditulis dan diterjemahkan).
2)      Menafsirkan al-Qur’an dengan hadis: yaitu ketika beliau menafsirkan ayat 185 surah al-Baqarah tentang bolehnya orang yang sakit ataupun orang yang musafir tidak puasa di bulan Ramadhan, dan mengutip hadis:[4]
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
nyi sinin tau suPueGGi yi nperteG puwaltal risuPu, nEniy pd neatauai puwn mEnRo, nEniy pd neatauai jn hisbEea.
Transliterasi: Naiya sininna tau sumpungenngi iya naparéntangngé Puang Allah taala risumpung, nenniya pada naétaui Puanna mennangro, nenniya pada naétaui jana hisabe’é.
Artinya: Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
Daud mengutip hadis sebagai penjelasan ayat tersebut:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
3)      Menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat sahabat; seperti pengutip pendapat ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat 106 surah Yusuf:[5] dengan mengatakan “Menurut Pendapat ibnu Abbas ra. (bahasa Bugisnya), orang yang demikian (pada masa itu yang dijelaskan oleh ayat ini, yaitu mereka orang musyrik Mekah) mereka percaya kepada Allah, tapi mereka juga menduakannya.”

Daud Ismail dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, terkadang mengutip penafsiran dari mufasir ternama sebelumnya, sehingga dapat dikatakan juga menggunakan metodologi muqarân meskipun hanya sesekali. Contoh penafsiran Daud Ismail mengutip pendapat tafsir al-Maraghi dalam menyebutkan kisah nabi Shaleh as. dalam surah al-A’raf ayat 73-87.[6] Demikian juga Daud Ismail dalam mengutip pendapat al-Maraghi ketika menafsirkan surat al-Humazah ayat 9:
Dalam tafsirnya Al-Maraghi berpendapat “ayat itu hanya dapat diimani dan tidak perlu dibahas bahwa tiang yang dimaksud adalah tiang api atau besi, demikian juga dengan panjang dan lebarnya, tidak boleh menyamakan dengan tiang yang ada di dunia. Akan tetapi makna ayat itu kita serahkan kepada Allah, karena akhirat itu tidak sama yang ada di dunia, hal ini pula tidak ada informasi dari Nabi Muhammad saw.
b. Tharîqah (Metode) Tafsir
Dilihat dari segi metode penafsiran dan karakteristiknya, tafsir Daud Ismail ini mempergunakan metode tahlîli moderat. Artinya, tidak secara ketat mempergunakan tahlîli, karena tidak terlihat penjelasan setiap kosa kata yang ada sebagaimana yang ada pada kebanyakan tafsir tahlîli, tapi hanya menampilkan kosa kata yang dianggap butuh penjelasan. Tafsir Daud Ismail ini juga tidak mengkaji struktur kebahasaan dan kajian balaghahnya sebagaimana yang terjadi pada tafsir-tafsir yang beraliran al-adab al-ijtimâ’i. Dalam penggunaan gaya bahasa, Tafsîr al-Munîr menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami oleh kebanyakan orang Bugis, mengingat tafsir ini diperuntukkan bagi seluruh masyarakat Bugis dari semua kalangan.
Meskipun mempergunakan metode tafsir tahlîli, dalam tafsir al-Munîr tampaknya Daud Ismail tidak banyak memberikan penekanan pada penjelasan makna kosa kata. Daud lebih banyak memberikan penekanan penjelasan dan pemahaman ayat-ayat secara menyeluruh. Setelah mengemukakan terjemahan ayat, Daud biasanya menyampaikan uraian makna dan petunjuk yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan, tanpa banyak menguraikan makna kosa kata. Penjelasan makna kosa kata walau pun ada tapi jarang dijumpai.

D.    Teknis (Prosedur/Manhaj) Tafsir
1)      Terjemah
Tafsir Daud Ismail ini memiliki komposisi yang cukup sederhana. Hal ini bisa kita lihat dengan dimulainya suatu pembahasan dengan mengelompokkan ayat-ayat yang ingin diterjemahkan dan ditafsirkan. Satu kelompok biasanya terdiri antara 3-10 ayat atau lebih, dan kadang-kadang diberi judul pada setiap kelompok ayat. Penerjemahan ayat-ayat dalam tafsir Daud Ismail ini, mengacu pada terjemahan Departemen Agama yang sudah ada sebelumnya. Hal ini beralasan karena Daud sendiri memakai al-Qur’an dan terjemahannya milik Departemen Agama sebagai referensi dalam menafsirkan al-Qur’an.
Kalau dibandingkan dengan tafsir yang menggunakan bahasa dan tulisan Arab, tafsir lokal bahasa Bugis, punya keunggulan tersendiri. Misalnya, pembaca bisa tahu makna perkata dan tahu posisi atau kedudukan kalimat, serta bila diterjemahkan maka kosa katanya sejalan dengan bahasa Arab. Ini kelihatan sekali pada Tafsîr al-Munîr karya Daud Ismail ini. Dengan demikian, umat Islam diuntungkan dengan adanya tafsir lokal. Berbeda dengan tafsir yang ditulis bukan dengan bahasa dan cara seperti tafsir bahasa Bugis. Taruhlah tafsir berbahasa Indonesia (Latin). Itu tidak akan bisa. Karena biasanya, model penafsirannya langsung satu paragraf.
2)      Kosakata
Dalam upaya AG. H. Daud Ismail memberikan pemahaman yang optimal kepada para pembacanya, beliau merasa perlu mengemukakan pengertian dari berbagai istilah yang digunakan dalam karya tafsirnya, mulai dari juz I sampai juz terakhir (juz 30), antara lain:[7]
1)      Term musyrik, yaitu orang yang menyekutukan Allah Swt. dengan sesuatu, memercayai bahwa ada Tuhan selain Allah, namun tetap mengakui ketuhanan Allah Swt. Dalam penggunaannya, sering juga disebut dengan kâfir musyrik karena kemusyrikan itu merupakan salah satu bagian dari kekafiran.
2)      Term munâfiq, yakni orang yang secara lahir mengaku sebagai Muslim, namun dalam batinnya ia kâfir. Yang dimaksud adalah orang yang tidak meyakini agama Islam dalam hatinya, atau tidak beriman kepada salah satu rukun iman yang enam, atau salah satu dari rukun Islam. Kendati demikian, ia biasa turut serta melakukan shalat, atau ikut berbuka puasa di bulan Ramadhan. Kemunafikan juga merupakan salah satu bagian dari kekafiran.
3)      Term kâfir, yaitu orang yang mengingkari kebenaran salah satu yang wajib diimani. Pengingkaran itu ia ucapkan dengan jelas, atau ia ekspresikan dalam tindak tanduknya. Seperti kalau dia mengatakan tidak nabi, atau tidak ada hari pembalasan, atau mengatakan tidak ada Tuhan atau semacamnya.
4)      Term fâsiq, yaitu orang yang durhaka kepada Allah Swt., baik karena kekafiran maupun karena kedurhakaan yang bukan kekafiran, seperti hanya meninggalkan kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji. Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang melanggar larangan Allah Swt., misalnya berzina, mencuri, minum minuman keras, dan sebagainya. Singkatnya, seseorang yang fâsiq adalah yang durhaka karena melanggar. Jika kedurhakaannya adalah kekafiran, maka ia tergolong fâsiq dan kâfir sekaligus. Akan tetapi, bila kedurhakaannya bukan kekafiran, ia hanya disebut fâsiq, misalnya seseorang hanya enggan mengeluarkan zakat hartanya padahal sudah cukup nisâb-nya.

Untuk mencapai tujuan al-Qur’an di atas, tentu saja diperlukan pemahaman dan penjelasan terhadap makna kata yang terkandung di dalamnya. Meskipun untuk mencapai suatu pemahaman yang benar dan baik tidaklah mudah.
   Dalam Tafsir Daud Ismail ini, kurang atau jarang sekali menjelaskan setiap kosa kata ayat, tetapi dia langsung memberikan penjelasan ketika ada kata yang dianggap ambigu, ataupun dia  melewatkannya tanpa diberi penjelasan.
3)      Munâsabah
Dalam Tafsir Daud Ismail, munasabah ayat tidak ditemukan secara khusus membahasnya secara langsung, hanya ketika mengungkapkan tafsir suatu ayat kemudian beliau sedikit menghubungkannya dari ayat lain.
4)      Asbâb al-Nuzûl
Dalam Tafsir Daud Ismail ini, ada beberapa ayat yang disebutkan “sbn nturu yiea surea” (saba’na naturung iyaè suraè, sebab turunnya surat ini). Cuma yang menjadi pertanyaan adalah sejauhmana validitas keshahihan asbâb al-nuzûl itu, karena bila kita perhatikan ada beberapa ayat yang disebut asbâb al-nuzûlnya tapi periwayatnya tidak disebut.
Daud Ismail dalam mengutip asbâb al-nuzûl sebagai penunjang dalam menafsirkan al-Qur’an. Bisa dilihat bahwa setiap ayat yang mempunyai asbâb al-nuzûl ditulisnya walau tidak menyertakan perawi yang meriwayatkannya. Walau demikian, ada usaha keras beliau untuk tetap menghadirkan asbâb al-nuzûl sebagai suatu kesatuan dalam memahami al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat dengan ditulisnya asbâb al-nuzûl ayat sebelum ditafsirkannya. Ada beberapa unsur yang perlu dicermati dan tidak boleh diabaikan dalam menganalisis konteks asbâb al-nuzûl, yaitu adanya peristiwa atau kasus, pelaku peristiwa, tempat peristiwa dan waktu berlangsungnya peristiwa itu. Perpaduan secara integral antara semua unsur dan komponen dalam peristiwa tersebut menggambarkan cukup jelas bahwa pada dasarnya ayat-ayat al-Qur’an itu mempunyai hubungan dialektis dengan fonomena sosio-kultural masyarakat. Peristiwa, pelaku, tempat dan waktu perlu diidentifikasi dengan cermat untuk dapat diterapkan ayat-ayat tersebut pada peristiwa lain dan di tempat dan waktu yang berbeda-beda.[8] Pemahaman inilah juga yang dianut oleh Daud Ismail.
Demikian karakteristik al-Qur’an Daud Ismail seperti tersebut di atas dalam implementasinya dalam kehidupan paling tidak mempunyai dua implikasi: Pertama, ajaran yang dikandung al-Qur’an bersifat universal dan abadi. Ajarannya dapat dipahami dan diterapkan manusia sepanjang masa dan dalam berbagai tingkat intelektual mereka. Kedua, tidak bisa dihindari kemungkinan adanya perbedaan penafsiran dan penangkapan maksud yang dikandungnya. Kedua hal tersebut merupakan sisi-sisi positif dari karakteristik al-Qur’an yang bersifat simbolik. Keuniversalan al-Qur’an dan keabadian relevansinya merupakan suatu fakta yang harus diakui kebenarannya, tidak saja dalam teks atau lafazhnya akan tetapi juga dalam substansi makna yang dikandungnya. Dalam masalah-masalah yang implementasinya bersifat permanen, yaitu sama dan berlaku untuk semua umat manusia, al-Qur’an menjelaskannya dengan ungkapan-ungkapan yang pasti, sedangkan dalam masalah-masalah yang implementasinya bisa beragam dan bersifat dinamis al-Qur’an menjelaskannya dengan ungkapan yang umum. Namun demikian, esensi yang dikandungnya tetap bersifat universal.

E.     Corak Tafsir (Lawn)
Kalau dilihat dari corak penafsirannya, tafsir al-Munir ini termasuk bercorak fikih. Hal ini bisa dilihat dari berbagai tafsirannya ketika dia menafsirkan ayat-ayat hukum. Daud Ismail ketika menemui ayat itu sebagai ayat hukum terutama masalah fikih, maka Daud secara panjang lebar mengupas dan menerangkan ayat tersebut dengan pendekatan fikih. Seperti ketika membahas masalah shalat, dia menjelaskan panjang lebar tentang pentingnya memelihara shalat lima waktu.[9] Di samping itu, dia juga menyertakan ayat-ayat dan hadis-hadis yang menyangkut tentang kewajiban dan keutamaan shalat, beliau juga banyak mengutip ayat-ayat dan hadis-hadis tentang shalat meski tidak menulis perawinya. Begitu juga ketika menemui ayat tentang puasa, haji, zakat, waris, wasiat, yang secara gamblang beliau menjelaskannya. Berbeda dengan ayat-ayat lain, Daud hanya mengulasnya dengan sepintas tanpa banyak komentar.


[1] Rosmini, REVITALISASI TAFSIR LOKAL (Telaah atas Fungsi Ganda Tafsir Mabbicara Ugi Tafsir al-Munir karya AGH. Daud Ismail al-Soppeniy) (Jurnal “Al-Qalam” Volume 15 Nomor 23 Januari - Juni 2009), 204-205.
[2] Ibid., 5.
[3] Daud Ismail, Tafsîr al-Munîr, (Ujung Pandang: Bintang Selatan, 1985), cet. III, juz XXX , h. 263.

[4] Daud Ismail, Tafsîr al-Munîr, juz II, 53.
[5] Daud Ismail, Tafsîr al-Munîr, juz XIII h. 141.
[6] Daud Ismail, Tafsîr al-Munîr, juz 8, jilid III, h. 187. 
[7] Daud Ismail, Tafsîr  al-Munîr, (Makassar: Bintang Selatan, 1993), cet. III, juz II, h. 3-4.
[8] M.Quraish Shihab dkk., Sejarah dan Ulumul Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. II, h. 78.
[9] Daud Ismail, Tafsîr al-Munîr, juz I, jilid I, 52.

Senin, 18 Juni 2012

Ta'rif dalam Ilmu Mantiq


BAB I
PENDAHULUAN
1.      KATA PENGANTAR
Kita sudah begitu sering berpikir. Rasa-rasanya berpikir begitu mudah.semenjak kecil kita sudah biasa melakukannya. Setiap hari kita berdialog dengan diri kita sendiri, berdialog dengan orang lain, berbicara , menulis, membaca suatu uraian dan lain-lain.
Namun apabila diselidiki lebih lanjut, dan terutama bila harus diraktekkan sungguh-sungguh ternyata berpikir dengan teliti dan tepat merupakan kegiatan yang cukup sukar juga. Keinsafan akan adanya kesulitan-kesulitan mendorong orang untuk memikirkan caranya ia berpikir, serta meneliti asas-asas hokum yang harus mengatur pemikiran manusia agar dapat mencapai kebenaran. Dengan demikian, timbullah suatu ilmu yang disebut logika. Sebagai pelopor ilmu logika adalah Aristoteles (348-322 SM) dengan karyanya yang terkenal dengan judul To Organon.
Lapangan penerapan logika sangatlah luas, bukan hanya di bidang ilmu pengetahuan saja tetapi di seluruh bidang kehidupan. Sebab, sebagai makhluk yang berakal, kita harus menggunakan akal sehat di segala bidang kehidupan karena hal ini sangatlah dibutuhkan dewasa ini. Bangsa kita sedang mengalami suatu masa peralihan yang cepat.
Dalam menghadapi persoalan yang sulit ini sangatlah dibutuhkan orang yang cakap berpikir, menalar sendiri, dengan objektif, rasionala dan kritis,dan yang mendasarkan tindakan-tindakannya atas alasan-alasan yang tepat, bukan atas emosi atau prasangka.



2.      RUMUSAN MASALAH
a)      Sebutkan macam-macam ta’rif ?
b)      Jelaskan syarat-syarat ta’rif!
c)      Bagaimana ta’rif (definisi) dalam wacana para ahli logika dan filosof ?

3.      TUJUAN
a)      Menyebutkan macam-macam ta’rif beserta penjelasannya secara terperinci
b)      Menjelaskan syarat-syarat ta’rif
c)      Menjelaskan pendapat para ahli logika dan filosof mengenai ta’rif (definisi)













BAB II
TA’RIF (DEFINISI)

A.    PENGERTIAN TA’RIF (DEFINISI)
Takrif (al-ta’rif) secara etimologi berarti pengertian atau batasan sesuatu. Takrif disebut juga al qaul al-syarih (ungkapan yang menjelaskan). Dengan demikian, takrif menyangkut adanya sesuatu yang dijelaskan, penjelasannya itu sendiri, dan cara menjelaskannya.   
Al-Jurzani menjelaskan pengertian takrif sebagai berikut:
عِبَارَةٌ عَنْ ذِكْرِ شَيْئٍ تَسْتَلْزِمُ مَعْرِفَتْهُ مَعْرِفَةَ شَيْئٍ آخَرٍ
Takrif adalah penjelasan tentang penuturan sesuatu, yang dengan mengetahuinya akan melahirkan suatu pengetahuan yang lain.
Takrif juga disebut al-had, yaitu
قَوْلٌ دَالٌ عَلَى مَا هِيَةِ الشَّيْئِ
                        Kalimat yang menunjukkan hakikat sesuatu.
Pengertiam logis tentang persoalan objek pikir merupakan upaya memahami maknanya dalam membentuk sebuah keputusan dan argumentasi ilmiah yang menjadi pokok bahasan mantik. Dan dalam praktiknya mesti menguasai bahan pembentukan takrif, yaitu kulliyah al-Khams.
Sedangkan menurut istilah ahli logika (mantiq),  ta’rif atau definisi adalah teknik menjelaskan sesuatu yang dijelaskan, untuk diperoleh suatu pemahaman secara jelas dan terang, baik dengan menggunakan tulisan maupun lisan, dan dalam ilmu mantiq dikenal dengan sebutan (qaul syarih). Dalam bahasa Indonesia, ta’rif tersebut dapat diungkapkan dengan perbatasan dan definisi.
B.     PEMBAGIAN TA’RIF
Ta’rif dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
1)      Ta’rif Had
Ta’rif dengan had, adalah ta’rif yang menggunakan rangkaian lafadz kulli jins dan fashl. Contoh: Manusia adalah hewan yang berfikir.
            Hewan adalah jins dan berfikir adalah fashl bagi manusia.
            Ta’rif had ada 2, yaitu ta’rif had tam dan ta’rif had naqish
a)      Ta’rif Had Tam
اَنْ يَكُوْنَ بِالْجِنْسِ وَالْفَصَلِ القَرِيْبَيْنِ
                                    Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan jenis qarib dan fashal qarib.
Contoh: Manusia adalah hewan yang dapat berfikir (al-insan hayawan al-nathiq)
Hewan adalah jins qarib kepada manusia karena tidak ada lagi jins di bawahnya. Sedangkan dapat berfikir adalah fashal qarib baginya.
b)      Ta’rif Had Naqish
اَنْ يَكُوْنَ بِالْجِنْسِ البَعِيْدِ وَالْفَصَلِ القَرِيْبِ اَوْ بِالْفَصَلِ القَرِيْبِ فَقَطْ
                                    Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan jenis ba’id dan fashal qarib, atau hanya fashal qarib.
Contoh: Manusia adalah tubuh yang dapat berfikir ( al-insan jism al-nathiq).
Jism adalah jins ba’id bagi manusia dan
dapat berfikir adalah fashl qarib baginya.
Contoh: Manusia adalah yang dapat berfikir (hanya fashal qarib saja).
2)      Ta’rif Rasm
Ta’rif dengan rasm adalah ta’rif yang menggunakan jins dan ‘irdhi khas. Contoh: Manusia adalah hewan yang dapat tertawa.
Hewan adalah jins dan tertawa adalah ‘irdhi khas (sifat khusus) manusia.
Ta’rif rasm ada 2, yaitu ta’rif rasm tam dan ta’rif rasm naqish         
a)      Ta’rif Rasm Tam
اَنْ يَكُوْنَ بِالْجِنْسِ القَرِيْبِ وَالْخَاصَّةِ
Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan jenis qarib dan khashah.
                  Contoh: Manusia adalah hewan yang mampu belajar kitab.
Hewan adalah jins qarib bagi manusia, sedangkan 
mampu belajar kitab adalah khashah baginya.
b)      Ta’rif Rasm Naqish
اَنْ يَكُوْنَ بِالْجِنْسِ البَعِيْدِ وَالْخَاصَّةِ اَوْ بِالْخَاصَّةِ فَقَطْ
Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan jenis ba’id dan khashah atau dengan khashah saja.
Contoh: Manusia adalah jism (tubuh) yang bisa ketawa.
Jism adalah jins ba’id bagi manusia dan
bisa tertawa adalah khashah baginya.
Contoh: Manusia adalah yang tertawa.(dengan khashah saja)
3)      Ta’rif dengan Lafadz
تَبْيِيْنُ الشَّيْئِ بِالَّفْظِ اَوْ ضَحُ مِنْهُ
Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan kata muradif (sinonim) yang lebih jelas dari mu’arraf.
Contoh:
الْيَرَعُ هُوَ الْقَلَمُ
                                    Sesuatu yang menyerupai bambu runcing adalah pena.
الْغَنَفَرُ هُوَ الاَسَدُ
Singa jantan adalah singa.

4)      Ta’rif dengan Mitsal
تَبْيِيْنُ الشَّيْئِ بِمِثَالِهِ 
Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan contohnya.
Contoh: subjek (fail) itu seperti “mahasiswa” dalam ucapan “mahasiswa telah datang”.
C.     SYARAT-SYARAT TA’RIF
Ta’rif menjadi benar dan dapat diterima, jika syarat-syaratnya terpenuhi, antara lain:
1.      Ta’rif harus jami’ mani’ (muththarid mun’akis)
Secara lughawi, jami’ berarti mengumpulkan dan mani’ adalah melarang. Dalam ilmu mantik, jami’ berarti mengumpulkan semua satuan yang dita’rifkan ke dalam ta’rif. Sedangkan mani’ berarti melarang masuk segala satuan hakekat lain dari yang dita’rifkan ke dalam ta’rif tersebut. Oleh Karena itu, ta’rif tidak boleh lebih umum atau lebih khusus dari yang dita’rifkan.
Contoh:
Manusia adalah hewan yang berakal.
2.      Ta’rif harus lebih jelas dari yang dita’rifkan (an yakuna audlah min al-mu’raf).
3.      Ta’rif harus sama pengertiannya dengan yang dita’rifkan. Karena itulah ta’rif tidak dianggap benar dan tidak bisa diterima sebagai ta’rif (definisi), jika keadaannya tidak sama dengan yang didefinisikan.
4.      Ta’rif tidak berputar-putar. Maksudnya jangan sampai terjadi ta’rif dijelaskan oleh yang dita’rifi (an yakuna khaliyan min al-dawar).
5.      Ta’rif bebas dari penggunaan kata majazi dan kata yang mngandung banyak makna (an yakuna khaliyan min al-majaz wa al-musytarakat).

D.    Ta’rif (Definisi) Dalam Wacana Para Ahli Logika dan Filosof
Dalam kaitannya dengan klasifikasi ta’rif (definisi) dan kriterianya seperti tersebut di atas, maka para ahli logika berpendapat bahwa hal-hal yang tidak boleh dimasukkan ke dalam ta’rif (definisi) adalah sebagai berikut:
1)      Masalah hukum
Hal ini tidak bisa dimasukkan ke dalam wilayah ta’rif (definisi) had, baik ta’rif had tam maupun had naqish. Contoh:
Tarkib HAL (حال) adalah isim yang dibaca nashab yang menjelaskan tentang prilaku dan keadaan.
Definisi seperti ini, tidak dibenarkan oleh para ahli logika, sebab nashob adalah masalah hukum dari suatu struktur kalimat atau tarkib dalam istilah ilmu nahwu.
2)      Masalah lafal AW (او), yang biasa dipakai untuk pembagian (taqsim / (لِتَقْسِيْمٍ وَ تَنَوُّعٍ
Hal ini tidak boleh dimasukkan ke dalam wilayah ta’rif (definisi) had, baik ta’rif had tam maupun had naqish. Akan tetapi boleh dimasukkan ke dalam wilayah ta’rif (definisi) rosm, baik rosm tam maupun rosm naqish. Contoh:
i). lafal AW tidak boleh masuk wilayah ta’rif had, seperti:
manusia adalah binatang atau hewan yang berfikir atau tertawa atau bisa berbicara.
ii). Lafal AW dalam ta’rif rosm, seperti:
     manusia adalah hewan yang bisa tertawa atau menangis atau berfikir.
Dengan demikian, para ahli logika berpendapat bahwa definisi yang dianggap paling sempurna adalah ta’rif had tam. Sekalipun demikian, para filosof berpendapat bahwa untuk mendapatkan definisi had tam dari segala sesuatu itu, harus mengenal lebih dahulu esensi segala sesuatu tersebut, sebab apa saja yang dianggap sebagai had tam, misalnya dalam mendefinisikan manusia dan sebagainya, tidak akan terlepas dari berbagai macam kemungkinan sebagai salah satu pilihan dan kelonggaran.
Oleh sebab itu, criteria yang telah dibuat oleh para ahli logika tentang had tam akan kehilangan nilai yang sebenarnya, lantaran sifat pesimistis para filosof terhadap had tam yang hakikatnya menjadi tanggung jawab mereka.






                                                                                         
BAB III
KESIMPULAN

Takrif (al-ta’rif) secara etimologi berarti pengertian atau batasan sesuatu. Takrif disebut juga al qaul al-syarih (ungkapan yang menjelaskan) atau al-had, yaitu
قَوْلٌ دَالٌ عَلَى مَا هِيَةِ الشَّيْئِ
                        “Kalimat yang menunjukkan hakikat sesuatu.”
Sedangkan ta’rif  secara mantiki adalah teknik menerangkan baik dengan tulisan maupun lisan, yang dengannya diperoleh yang jelas tentang sesuatu yang diterangkan / diperkenalkan.
Ta’rif dibagi menjadi 4 macam, yaitu: ta’rif had (tam dan naqish), ta’rif rasm (tam dan naqish), ta’rif dengan lafadz dan ta’rif dengan mitsal.
Syarat-syarat ta’rif, yaitu harus jami’ mani’, harus lebih jelas dari yang dita’rifkan, harus sama pengertiannya dengan yang dita’rifkan, tidak berputar-putar, bebas dari penggunaan kata majazi dan kata yang mngandung banyak makna.
Dalam kaitannya dengan klasifikasi ta’rif (definisi) dan kriterianya seperti tersebut di atas, maka para ahli logika berpendapat bahwa hal-hal yang tidak boleh dimasukkan ke dalam ta’rif (definisi), yaitu masalah hukum dan masalah lafal AW (او), yang biasa dipakai untuk pembagian (taqsim / (لِتَقْسِيْمٍ وَ تَنَوُّعٍ.








DAFTAR PUSTAKA
·         Sambas, Syukriadi. 2000. Mantik kaidah berpikir Islam. Bandung: PT Remaja Rusdakarya
·         Baihaki. 2002. Ilmu Mantik Teknik dasar Berpikir Logik: Darul Ulum            Press
·         Mundiri. 1998. Logika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
·         al-Hasyimy, Muhammad Ma’shum Zainy. 2008. Zubdatul Mantiqiyah (teori Berfikir Logis), Jombang: Darul Hikmah