MUQARANAH
AYAT-AYAT ZAIDAH DAN NUQSHAN
DALAM
SURAT ALI IMRAN AYAT 126 DAN AL-ANFAL AYAT 10
Makalah
Disusun untuk
Memenuhi Tugas Perkuliahan
Metodologi
Penelitian tafsir
Oleh:
SU’UDI
NIM E53210072
Dosen
Pengampu:
DRS. H. ACHMAD CHOLIL ZUHDI, M.AG
NIP: 195009211988031001
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012
KATA
PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah Swt, dengan rahmat, taufiq,
hidayah dan inayahNya, penulis sampaikan kepada Allah Swt karena atas
rahmat dan hidayahNya, perencanaan dan penulisan makalah ini dapat terlaksana
dengan lancar. Shalawat serta
salam semoga tercurahkan
kehadirat Nabi Muhammad SAW, semoga syafaatnya senantiasa terlimpahkan
pada kita umatnya semua. Seiring dengan itu, penulis sangat berterima kasih
kepada kedua orang tua atas segala pengorbanan dan doa restunya.
Kesuksesan ini dapat
penulis peroleh juga karena dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis
menyadari dan menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada bapak Drs.
H. Achmad Cholil Zuhdi, M.Ag. selaku dosen pengampu dan pembimbing dalam
penyusunan skripsi ini, serta mahasiswa Tafsir Hadis kelas C yang memberi
inspirasi dan dukungan pada penulis.
Penulis sadar bahwa
penulisan skripsi ini masih terlalu jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis berharap saran dan kritik dari para pembaca. Semoga saran dan kritik
pembaca dicatat sebagai pahala orang yang saling menasehati dalam kebenaran.
Akhirnya semoga segala
amal baik kita semua mendapatkan ridho dan balasan Allah SWT. Serta skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Amin
Ya Rabbal ‘Alamin.
Surabaya,
Oktober 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ....................................................................................... 1
B.
Identifikasi
Masalah dan Batasan Masalah............................................. 2
C.
Rumusan Masalah................................................................................... 3
D.
Tujuan
Penelitian .................................................................................... 3
E.
Manfaat
Penelitian.................................................................................. 3
F.
Tinjauan Pustaka..................................................................................... 3
G.
Out Line.................................................................................................. 4
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Pengertian............................................................................................... 6
B.
Ruang Lingkup
Metode Tafsir Muqaran................................................ 8
C.
Kelebihan dan
Kekurangan Metode Muqaran........................................ 13
BAB III : MUQARANAH DALAM
SURAT ALI IMRAN AYAT 126 DAN AL-ANFAL AYAT 10
A.
Berlebih dan
Berkurang (Ziyadat wa Nuqshan)...................................... 14
B.
Contoh Muqaranah
ayat Ziyadah dan Nuqshan..................................... 15
C.
Perbandingan
Redaksi yang Mirip ......................................................... 15
D.
Analisis Redaksi
yang Mirip................................................................... 16
E.
Perbandingan
Pendapat para Mufassir.................................................... 18
BAB IV : PENUTUP
A.
Simpulan................................................................................................. 23
B.
Saran....................................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alquran diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab
mengerti makna dari ayat-ayat alquran. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk
Islam setelah mendengar bacaan alquran dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui
makna yang terkandung dalam alquran, antara satu dengan yang lainnya sangat
variatif dalam memahami isi dan kandungan alquran,[1]
karena manusia diturunkan ke dunia ini tanpa dibekali ilmu pengetahuan, baik
untuk kepentingan dirinya maupun pihak lain di luar dirinya.[2]
Sedangkan fungsi alquran sangat penting bagi manusia di dunia ini
untuk menuntun kehidupan mereka ke jalan yang benar demi memperoleh kebahagiaan
yang abadi kelak di akhirat. Barang siapa yang berpegang teguh kepadanya
niscaya tidak akan sesat selama-lamanya sebagaimana
disabdakan Nabi saw yang diriwayatkan Al-Hakim
dari Abu Hurairah
تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب
الله وسنتي ...
Saya telah
meninggalkan dua pusaka kepadamu. Kamu tidak akan sesat selama keduanya
(dijadikan pedoman), yaitu kitab Allah dan sunnahku.
Untuk menjadikan alquran sebagai pedoman diperlukan pemahaman
yang benar. Padahal memahami alquran tidaklah mudah. Untuk memperoleh penafsiran yang benar tidak cukup dengan menguasai
Bahasa Arab secara baik, melainkan perlu pula pengetahuan yang
konfrehensif tentang kaedah-kaedah yang berhubungan dengan IlmuTafsir. Selain itu
musafir harus membebaskan dirinya dari segala bentuk keyakinan dan sifat-sifat
tercela.[3]
Ilmu tafsir merupakan
ilmu yang tergolong belum matang, sehingga selalu terbuka untuk dikembangkan.
Setiap periode memiliki perkembangan sampai saat ini. Meskipun sama-sama
berusaha mengungkapkan makna alquran, masing-masing menggunakan cara dan
pendekatan yang berbeda-beda. Sehingga tidaklah mengherankan ketika metode yang
digunakan oleh para ulama dalam penafsiran alquran juga mengalami perkembangan
yang dinamis dari zaman ke zaman. Motode-motode itu berkembang sejalan dengan
perkembangan pemikiran, peradaban manusia dan juga masalah-masalah yang
berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, perkembangan itu juga terjadi
karena kebutuhan manusia akan metode baru sebagai akibat perkembangan zaman tidak
terelakkan.[4]
Dalam kaitan ini,
setidaknya ada empat buah metode tafsir yang populer dan mewarnai karya tafsir
dari yang klasik hingga modern, yaitu metode ijmali (global), tahlili
(analitis), muqaran (perbandingan) dan maudlu’i (tematik).[5]
Namun yang akan menjadi pembahasan dalam skripsi ini adalah
mengenai perbandingan (muqaranah) ayat-ayat yang berlebih dan berkurang
(zaidah wa nuqshan).
B.
Identifikasi
Masalah dan Batasan Masalah
Dari
paparan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi bahwa penafsiran alquran
para ulama baik dari abad klasik sampai abad modern itu tidak lepas dari
beberapa metode tafsir yang sampai saat ini popular, yaitu metode ijmali,
tahlili, muqaran dan maudhu’i.
Sedangkan dalam metode muqaran hanya
membahas tiga aspek, yaitu perbandingan ayat dengan ayat, perbandingan ayat
dengan hadis dan perbandingan para mufassir. Namun dalam penulisan skripsi ini
penulis hanya akan membatasi pada pembahasan perbandingan (muqaranah)
ayat-ayat yang berlebih dan berkurang (zaidah wa nuqshan).
C. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang, identifikasi masalah dan batasan masalah di atas perlu adanya
fomulasi rumusan masalah agar memudahkan dalam pengimplementasian penelitian
sebagaimana berikut:
1.
Bagaimana perbandingan redaksi yang
mirip pada surat Ali Imran ayat 126 dan al-Anfaal ayat 10?
2.
Bagaimana perbandingan pendapat
para mufassir tentang redaksi yang mirip pada surat Ali Imran ayat 126 dan
al-Anfaal ayat 10?
D.
Tujuan
Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian perbandingan (muqaranah) ayat-ayat yang
berlebih dan berkurang (zaidah wa nuqshan) adalah:
1.
Untuk
mendeskripsikan perbandingan redaksi yang mirip pada surat Ali Imran ayat 126 dan
al-Anfaal ayat 10.
2.
Untuk menjelaskan perbandingan
pendapat para mufassir tentang redaksi yang mirip pada surat Ali Imran ayat 126
dan al-Anfaal ayat 10.
E.
Manfaat
Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memahami dan membandingkan
redaksi yang mirip pada surat Ali Imran ayat 126 dan al-Anfaal ayat 10. Karena
redaksi alquran yang berlebih atau berkurang itu tidaklah bersifat positif atau
negatif, melainkan tersimpan suatu pesan yang ingin disampaikan di dalam
masing-masing redaksi itu.
F.
Tinjauan
Pustaka
Tinjauan
pustaka yang digunakan dalam penelitian ini terdapat beberapa referensi yang
berkaitan dengan muqaranah ayat-ayat zaidah dan nuqshan.
1.
Nashruddin
Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
2.
Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2000).
3.
Ali Hasan
al-Aridl, Sejarah dan Metologi Tafsir (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994),
G. Out Line
Untuk
lebih memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulisan ini disusun atas
empat bab sebagai berikut:
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Identifikasi
Masalah dan Batasan Masalah
C.
Rumusan Masalah
D.
Tujuan
Penelitian
E.
Manfaat
Penelitian
F.
Tinjauan Pustaka
G.
Out Line
BAB
II METODE TAFSIR MUQARAN
A.
Pengertian
B.
Ruang Lingkup
Metode Tafsir Muqaran
C.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Muqaran
BAB
III Muqaranah Ayat-Ayat Ziyadat Dan Nuqshan Dalam Surat Ali Imran Ayat 126 Dan
Al-Anfal Ayat 10
A.
Berlebih dan
Berkurang (Ziyadat wa Nuqshan)
B.
Contoh Muqaranah Ayat Ziyadah dan
Nuqshan
C.
Perbandingan Redaksi yang Mirip
D. Analisis
Redaksi Yang Mirip
E. Perbandingan Pendapat
para Mufassir
BAB
IV PENUTUP
A.
KESIMPULAN
B.
SARAN
BAB II
METODE TAFSIR MUQARAN
A.
Pengertian
Tafsir muqarin adalah penafsiran sekolompok ayat alquran yang
berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat
atau antara ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara
pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan
tertentu dari obyek yang dibandingkan.[6]
Quraish Shihab mendefinisikan tafsir muqâran sebagai:
"Membandingkan ayat-ayat alquran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang
berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda bagi masalah atau kasus yang
sama atau diduga sama.”[7]
Dari
beberapa pengertian yang dipaparkan di atas, maka terlihat bahwa tafsir metode
muqâran adalah:
Satu, membandingkan ayat dengan ayat. Dua,membandingkan
ayat alquran
dengan hadits. Tiga, membandingkan berbagai pendapat ulama
tafsir dalam menafsirkan alquran. Metode
ini diharapkan dapat melahirkan pemahaman komprehensif terhadap ayat-ayat alquran.[8]
Tafsir alquran
dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas. Ruang
lingkup kajian dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada yang berhubungan
dengan kajian redaksi dan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang
dikandungnya. Maka, M. Quraish Shihab, menyatakan bahwa ”dalam metode ini
khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat [juga ayat dengan
hadis]... biasanya mufassirnya menejelaskan hal-hal yang berkaitan denagan
perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus
masalah itu sendiri.[9]
'Abd
Al-Hayy al-Farmâwi juga mengungkapkan bahwa perbandingan juga bisa dilakukan
lintas kecenderungan penafsir; seperti membandingkan penafsiran mereka yang
dipengaruhi oleh semangat kesyi'ahan, ketashawwufan, kemu`tazilahan,
keas`ariyahan, dan selainnya, serta kecenderungan yang dipengaruhi oleh
disiplin ilmu yang dikuasai seorang penafsir. Sebagai contohnya adalah penafsir
yang menitikberatkan pembahasan pada bidang nahwu (gramatika bahasa Arab)
sebagaimana al-Zamakhsyarî dalam al-Kassyâf, bidang filsafat
seumpama Imam al-Fakhruddîn al-Râzy dalam al-Tafsîr al-Kabîr, atau
bidang fiqih seperti al-Qurthuby dalam al-Jâmi` li al-Ahkâm al-Qur'an.[10]
begitu pula karya tafsir yang menerapkan metode ini adalah Durrat al-Tanzil
wa Ghurrat al-Ta’wil karya al-Iskafi (w. 240 H), dan al-Burhan fi Taujih
Mutasyabah al-Qur’an karya al-Karmani (w. 505/1111).[11]
Mufassir
dengan metode muqaran dituntut mampu menganalisis pendapat-pendapat para ulama
tafsir yang ia kemukakan untuk kemudian mengambil sikap menerima penafsiran
yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh
rasionya serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya,
sehingga pembaca merasa puas.[12]
B.
Ruang Lingkup Metode Tafsir Muqaran
Berikut
ini penulis akan menguraikan ruang lingkup dan langkah-langkah penerapan metode
tafsir muqâran pada masing-masing aspek:
1)
Perbandingan Ayat Dengan Ayat
Contohnya
pada ayat 151 Surat al-An’am dengan
ayat 31 Surat al-Isra.
وَلا
تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
Dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.[13]
وَلا
تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
Kasus kedua ayat ini sama, yakni larangan membunuh
anak-anak karena alasan kemiskinan. Tapi, pada penelitian lebih lanjut, tampak
adanya perbedaan dari segi mukhathab (sasaran pembicaraan). Mukhathab
pada ayat pertama adalah orang miskin, sehingga digunakan redaksi yang
berarti karena alasan kemiskinan, atau tegasnya karena “kalian miskin”.
Sementara mukhathab pada ayat kedua adalah orang kaya, yang berarti
takut menjadi miskin. Artinya, pada saat itu mukhathab sudah kaya. [15]
Selanjutnya, pada ayat pertama, dhamir mukhatab
didahu-lukan dengan maksud untuk menghilangkan kekhawatiran si mis-kin bahwa ia
tidak akan mampu memberikan rizki kepada anak-nya: yakni, Allah akan memberikan
rizki kepadanya agar ia mam-pu menafkahi anaknya. Maksud
ayat akan menjadi lebih jelas jika dibandingkan dengan ayat kedua. Di sini
dhamir anak-anak muk-hatab didahulukan untuk memperingati si kaya bahwa Allah
yang memberi rizki kepada anak-anak itu, dan bukan si kaya. Kesimpulannya, yang
satu bersifat menumbuhkan keyakinan, sementara yang satu bersifat memberi
peringatan.[16]
2)
Perbandingan Ayat dan hadis
Tentunya, yang sepadan untuk dibandingkan dengan ayat
al-Qur'an adalah hadits yang berkualifikasi shahîh, sehingga
hadits dha`i f tidak perlu dijadikan perimbangan dengan ayat al-Qur'an.
Salah satu contoh adalah sabagai berikut:
a)
Alquran
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ
وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ. إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ
وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
Maka
tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah
mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari
negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai
seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta
mempunyai singgasana yang besar.[17]
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي
مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ
رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan)
di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah
kiri. (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik
dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun". [18]
b)
Hadis
ما
أفلح قوم و لوا أمرهم امراة
Tidak pernah beruntung suatu bangsa
yang menyerahkan semua urusan mereka kepada wanita.
Jika
diperhatikan secara sepintas, teks hadits di atas bertentangan dengan kedua
ayat terdahulu karena alquran menginformasikan keberhasilan Ratu Balqis memimpin
negaranya, Saba'. Sebaliknya, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan
ketidaksuksesan sebuah negara (manapun) yang diperintah oleh perempuan. Dengan
demikian, perempuan diposisikan pada kedudukan tidak seimbang dengan laki-laki.
Padahal -kecuali Balqis- sejarah dunia dan sejarah peradaban Islam mencatat
tokoh-tokoh perempuan yang sukses memimpin negara, semisal
Syajarat al-Durr, pendiri kerajaan Mamluk yang memerintah wilayah Afrika Utara
sampai Asia Barat (1250-1257 M).[19]
Untuk
mengkomparasi dan mengkompromikan kedua teks tersebut diperlukan kepastian akan
kualifikasi hadits tersebut karena ayat tidak diragukan lagi keotentikannya.
Setelah itu dilihat asbâb al-wurûd hadits tersebut. Pada kasus
hadits ini, asbâb al-wurûd-nya adalah saat Rasulullah mendengar
berita bahwa puteri Raja Persia dinobatkan menjadi ratu menggantikan ayahnya
yang mangkat. Berdasarkan itu, tidak mengherankan jika pemahaman bahwa
perempuan tidak pas memimpin negara muncul ke permukaan. Namun jika dipakai
kaidah العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب maka
akan dijumpai pemahaman lain.
Melalui analisis kaidah itu terhadap hadits tersebut,
maka akan ditemui bahwa kata قوم - امراة dibentuk
dalam format nakirah(indefinite). Itu berarti bahwa yang
dimaksud oleh kata-kata itu adalah semua kaum, semua perempuan, dan semua
urusan. Jadi, terjemahan dari hadits tersebut (kira-kira) berbunyi: "Suatu
bangsa tidak pernah memperoleh sukses jika semua urusan bangsa itu diserahkan
(sepenuhnya kepada kebijakan) wanita sendiri (tanpa melibatkan kaum pria)".
Jika dipahami demikian, maka jelas bahwa sangat wajar kalau suatu bangsa tidak
akan sukses kalau semua bidang yang ada dalam bangsa tersebut ditangani mutlak
oleh perempuan tanpa sedikit pun melibatkan laki-laki karena baik laki-laki maupun
perempuan memiliki keterbatasan-keterbatasan yang jika digabungkan akan
terjalin kerja sama yang baik.
c)
Perbandingan Pendapat Mufassir
Pada kesempatan lain, Quraish Shihab mempraktikkan metode
muqâran dengan membandingkan pendapat beberapa mufassir seperti saat الم. Menurutnya,
mayoritas ulama pada abad ketiga menafsirkannya dengan ungkapan: الله أعلم. Namun setelah itu, banyak ulama
yang mencoba mengintip labih jauh maknanya. Ada
yang memahaminya sebagai nama surat, atau cara yang digunakan Allah untuk
menarik perhatian pendengar tentang apa yang akan dikemukakan pada ayat-ayat
berikutnya. Ada lagi yang memahami huruf-huruf yang menjadi pembuka surat alquran
itu sebagai tantangan kepada yang meragukan alquran. Selain itu, ia juga
mengutip pandangan Sayyid Quthub yang kurang lebih mengatakan: "Perihal
kemukjizatan alquran serupa dengan perihal ciptaan Allah semuanya dibandingkan
dengan ciptaan manusia. Dengan bahan yang sama Allah dan manusia mencipta. Dari
butir-butir tanah, Allah menciptakan kehidupan, sedangkan manusia paling tinggi
hanya mampu membuat batu-bata. Demikian pula dari huruf-huruf yang sama
(huruf hija`iyyah) Allah menjadikan alquran dan al-Furqân. Dari
situ pula manusia membuat prosa dan puisi, tapi manakah yang labih bagus
ciptaannya?"
Quraish juga menambahkan dengan mengutip pendapat Rasyad
Khalifah yang mengatakan bahwa huruf-huruf itu adalah isyarat tentang
huruf-huruf yang terbanyak dalam surat-suratnya. Dalam surat
al-Baqarah, huruf terbanyak adalah alif, lam, dan mim.
Pendapat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun Quraish Shihab
terlihat masih meragukan kebenaran pendapat-pendapat yang dikutipnya hingga ia
mengambil kesimpulan bahwa pendapat yang menafsirkan الم dengan الله أعلم masih relevan sampai saat ini.[20]
C.
Kelebihan dan Kekurangan
Metode Muqaran
Sebagai
sebuah metode buatan manusia, maka sangat wajar bila metode ini mengandung kekurangan
di antara kelebihan-kelebihan yang dipunyainya.
1)
Kelebihan
·
Memberikan wawasan yang relatif lebih luas
·
Membuka
diri untuk selalu bersikap toleran.
·
Membuat mufassir labih berhati-hati.
2)
Kekurangan
·
Kurang cocok
dengan pemula.
·
Kurang cocok untuk
memecahkan masalah kontemporer.
BAB III
MUQARANAH DALAM SURAT ALI IMRAN
AYAT 126 DAN AL-ANFAL AYAT 10
A.
Berlebih dan
Berkurang (Ziyadat wa Nuqshan)
Di antara dua
redaksi yang bermiripan itu, ada yang mempunyai kata, atau kalimat yang tidak
sama jumlahnya, sehingga bila diperbandingkan kedua redaksi tersebut
terlihatlah pemakaian kata yang berlebih dan berkurang karena ada kata atau
kalimat yang dipakai di dalam suatu redaksi, pada redaksi lain yang mirip
dengannya tidak memakai kata atau kalimat itu. Dengan demikian terjadilah apa
yang disebut dengan ziyadat wa nuqshan (berlebih dan berkurang) dalam
pemakaian kata. Kemiripan redaksi serupa itu banyak dijumpai di dalam alquran.
Term berlebih
dan berkurang dalam konteks ini tidak berkonotasi positif dan negatif,
melainkan sekedar untuk menggambarkan bahwa antara dua redaksi yang bermiripan
itu terdapat sedikit perbedaan redaksional sesuai dengan pesan yang ingin
disampaikan di dalam masing-masing redaksi itu. Itu berarti, sekalipun sebuah
redaksi memakai kosakata yang jumlahnya kurang dari redaksi yang lain, namun
konotasinya tetap positif. Jadi tidak ada ayat-ayat alquran itu yang bersifat
negatif baik pola susunan redaksinya, maupun pemilihan kata dan kandungan
maknanya, semuanya bernilai positif sesuai pesan (petunjuk) yang dibawanya.[22]
B.
Contoh
Muqaranah Ayat Ziyadah dan Nuqshan
Quraish Shihab mempraktikkan penggunaan metode muqâran dengan
membandingkan dua ayat yang mirip secara redaksional, yaitu ayat 126 Surat Ali
`Imrân dengan ayat 10 Surat al-Anfâl.[23]
1)
Surat Ali
Imran Ayat 126
وَمَا
جَعَلَهُ اللَّهُ إِلا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِهِ وَمَا
النَّصْرُ إِلا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
Dan Allah tidak
menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)
mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari
Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[24]
2) Surat Al-Anfal Ayat
10
وَمَا
جَعَلَهُ اللَّهُ إِلا بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ
إِلا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan Allah tidak
menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan
agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[25]
C.
Perbandingan Redaksi
yang Mirip
Jika diperbandingkan kedua redaksi ayat di atas jelas terlihat redaksi yang
pertama mirip dengan redaksi yang kedua. Namun di dalam kemiripan itu terdapat
perbedaan kecil dari sudut susunan kalimatnya. Paling tidak
ada tiga hal yang membedakan redaksi ayat pertama dari redaksi ayat kedua.
1) Pada surat Ali
Imran Ayat 126 terdapat lafal (لَكُمْ) sesudah lafal (بُشْرى); dan pada surat Al-Anfal
Ayat 10 tidak dijumpai lafal (لَكُمْ).
2) pada surat Al-Anfal
Ayat 10 ditempatkan (إِنَّ اللهَ)
sesudah (مِنْ عِنْدِاللهِ);
sedangkan ayat pertama tidak memakainya.
3) Perbedaan ketiga tampak
dalam pemakaian kalimat (بِهِ). Kalau pada surat Ali Imran Ayat 126 kalimat tersebut
ditempatkan sesudah (قُلُوْبُكُمْ), maka pada surat Al-Anfal Ayat 10 tempatnya sebelum (قُلُوْبُكُمْ) itu. Kasus yang terakhir ini
sebenarnya masuk kategori taqdim dan ta’khir, tapi karena
kaitannya erat sekali dengan pembahasan ayat ini maka ketiga permasalahan itu akan
dikaji di sini.[26]
D. Analisis Redaksi Yang Mirip
Yang menjadi
permasalahan dalam ayat ini ialah, mengapa perbedaan yang disebutkan itu
timbul?? Apakah sekedar seni berbahasa, atau dibalik perbedaan itu ada pesan
khusus yang dikandungnya.
Jika dilihat
dari sudut historis turun ayat, ternyata ayat al-Anfâl disepakati oleh ulama sebagai ayat yang berbicara tentang
turunnya malaikat pada Perang Badar. Sedang ayat Ali 'Imran turun dalam konteks
janji turunnya malaikat dalam Perang Uhud. Dalam perang tersebut malaikat tidak
jadi turun karena kaum muslimin tidak memenuhi syarat kesabaran dan ketakwaan
yang ditetapkan Allah ketika menyampaikan janji itu (sebagaimana tersebut di
ayat 125).[27]
Itu berarti masing-masing redaksi
mempunyai kasus yang berbeda, sebab situasi dan kondisi yang dihadapi umat
Islam dalam kedua peperangan
itu tidak sama. Ketika perang Badar misalnya, kaum Muslimin belum sekuat ketika
perang Uhud terjadi karena jumlah personil mereka amat kecil (sekitar 300
orang), sebaliknya kekuatan personil musuh lebih tiga kali lipat (sekitar 1000 orang). Disamping kondisi yang
demikian, perang Badar ini tercatat sebagi perang pertama dan amat besar, sebelumnya umat Islam belum punya pengalaman dalam peperangan serupa itu. Jadi, secara lahiriah umat Islam berada dalam kondisi
yang amat labil jika dibandingkan dengan
kondisi mereka pada waktu perang Uhud.
Mengingat kondisi yang demikian, maka pada penutup ayat 10 surah Al-Anfal Allah
memakai huruf ta’kid (إنَّ)
untuk memperkuat keyakinan umat Islam bahwa Allah Yang Maha Perkasa bersama
mereka. Sebaliknya, di dalam
ayat 126 dari Ali Imran tak diperlukan huruf ta’kid tersebut karena
kondisi mereka telah makin baik dan kuat. Jadi, dalam kondisi begini tak
diperlukan huruf ta’kid karena kondisi mereka telah makin baik dan kuat. Demikian pula penempatan kalimat
(قلوبكم) sebelum (به) memberikan indikasi akan
pentingnya menenangkan jiwa mereka; sedangkan di dalam Ali Imran: 126, cukup
menempatkannya sesudah (قلوبكم).[28]
Adapun ditempatkannya kalimat (لَكُمْ) secara eksplisit di dalam ayat
126 surat Ali Imran sesuai dengan hasil yang dicapai dalam Perang Uhud. Dimana
umat Islam mengalami kekalahan dalam perang tersebut. Namun demikian
kegembiraan tetap berada di pihak umat Islam, bukan untuk orang-orang kafir,
sekalipun orang-orang kafir menang karena Nabi selamat dan para sahabat
terkemuka seperti Abu bakar, Umar, Utsman, Ali dan lain-lainnya masih hidup untuk
melanjutkan perjuangan. Sebaliknya di dalam redaksi ayat 10 surah al-Anfal
tidak perlu mencantumkan kalimat (لَكُمْ) secara eksplisit, karena
bantuan Allah sudah jelas barada di pihak umat Islam, bahkan mereka telah
berhasil memenangkan perang.
Dengan uraian itu, jelaslah bahwa masing-masing redaksi mempunyai konteks
yang berbeda karena itu pola susunan kalimat dan kata-kata yang digunakan oleh
masing-masing redaksi itu harus pula berbeda agar setiap redaksi itu dapat
membawa pesan kepada alamatnya secara jitu dan mengenai sasaran yang dimaksud
dengan tepat dan akurat.[29]
E. Perbandingan Pendapat
para Mufassir
Boleh dikatakan sangat langka ulama tafsir yang tertarik membahas perbedaan
redaksi yang dijumpai di dalam dua ayat yang telah dikutip di muka. Ini
terbukti dari 22 kitab tafsir yang diteliti hanya empat buah yang tertarik
membicarakannya, dan itu pun kitab-kitab tafsir di abad klasik dulu, yaitu Durrat
al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil karangan al-Iskafi (w.420 H.), Al-Burhan
fi Tawjih Mutasyabih Al-Qur’an karangan al-Karmani (w.505 H.), Al-Bahr
al-Muhith karangan Abu Hayyan (w. 754 H.) dan Nazhm Al-Durar fi Tanasub
al-Ayat wa al-Suwar, karangan Burhan al-Din al-Biqa’I (w. 885 H.). Jadi
tidak sampai 20% dari kitab-kitab itu yang membahasnya. Para ulama tafsir yang
tidak membahas perbedaan redaksi itu ialah al-Thabari, Ibn Katsir,
al-Zamarkhsyari, al-Khazin, al-Razi, al-Alusi, al-Naysaburi, Abu al-Su’ud,
al-Qurtubi, al-Thanthawi, Muhammad Rasyid Ridha, al-Maraghi, dan lain-lain.[30]
Di kalangan ulama tafsir yang membahas perbedaan redaksi dari kedua ayat
itu tidak terdapat kesepakatan, karena masing-masing mepunyai kecenderungan
yang bebeda. Mengenai pencantuman kalimat (لَكُمْ) dalam ayat 126 surat Ali
Imran, dan ditiadakan pada ayat 10 surah al-Anfal, misalnya, terdapat tiga
pendapat.
a) Menurut al-Iskafi,
pencantumannya di dalam ayat pertama adalah karena sebelumnya belum disebut,
sementara pada ayat kedua tak perlu mengulang penyebutan kalimat itu lagi
secara eksplisit karena di dalam ayat sebelumnya sudah dinyatakan (إذَ تَسْتَغِيْثًوْنَ رَبَّكًمْ فَاسْتَجَابَ لَكًمْ). Dengan adanya kata (لَكُمْ) di dalam kalimat (فَاسْتَجَا بَ
لَكُمْ) itu, maka tidak perlu diulang
lagi pada ayat sesudahnya. Indikasi serupa inilah yang tak dijumpai di dalam
ayat 126 surat Ali Imran. Karenanya perlu pencantuman kalimat (لَكُمْ) tersebut di dalamnya.
Al-Karmani juga sependapat dengan Al-Iskafi dalam kasus ini.
b) Abu Hayyan mengemukakan
pendapat lain, sebagai dikatakannya: penempatan lafal (لَكُمْ) di dalam ayat 126 surat Ali
Imran itu ialah karena alur kisahnya panjang; sebaliknya di dalam ayat10 surah
al-Anfal kisahnya diungkapkan secara singkat dan padat. Itulah sebanya pada
ayat 126 surat Ali Imran dipakai lafal (لَكُمْ) dan pada ayat 10 surah al-Anfal,
tidak. Hal itu dimaksudkan supaya serasi dengan kondisi masing-masing ayat.
c) Al-Biqa’i
mempunyai pendapat yang yang amat berbeda dari dua pendapat sebelumnya.
Menurutnya pencantuman kalimat (لَكُمْ) itu berkaitan erat dengan konteks
ayat tersebut, yakni berbicara tentang perang Uhud, di mana umat Islam kalah
dan orang kafir kalah. Berdasarkan kenyataan itu, seaindainya kalimat (لَكُمْ) tidak disebut secara eksplisit, maka dapat
timbul dugaan negative bahwa bantuan Allah ialah untuk memberikan kegembiraan
bagi orang-orang kafir. Sedangkan ayat kedua berkenaan perang Badar. Di dalam
ayat ini tak perlu pencantuman kalimat (لَكُمْ)
itu karena sudah tidak ragu lagi bahwa kegembiraan berada di pihak umat
Islam.[31]
Perbedaan serupa juga terlihat dalam komentar para mufassir terhadap
penempatan kalimat (به). Pada ayat pertama kalimat (به) itu terletak sesudah (قلوبكم) sementara pada
ayat kedua sebelumnya. Kata al-Iskafi, perbedaan itu timbul karena mengikuti
pola kalimat sebelumnya. Pada ayat pertama ada ungkapan (بشرى لكم) sebelumnya, di mana kalimat (لكم) terletak sesudahnya (بشرى). Supaya susunan ayat itu serasi,
maka pada redaksi berikutnya kalimat (به) ditempatkan pula (قلوبكم). Adapun penempatan (به) sebelum (قلوبكم) di dalam ayat kedua agar mendapat perhatian yang lebih serius
dari mukhthabin (para komunikan) bahwa bantuan Allah itu pasti datang
untuk menggembirakan dan menentramkan hati mereka dalam menghadapi musuh.
Menurut Abu Hayyan ditempatkannya kalimat (به) sebelum (قلوبكم) pada ayat pertama dan sesudahnya
pada ayat kedua, ailah untuk tafannun wa al-ittisa fi al-kalam (mewujudkan
rasa seni dan keluasan dalam berbahasa). Al-Biqa’i pada pokoknya sependapat
dengan al-Iskafi dalam hal ini sekalipun penjelasannya lebih rinci daripada
uraian pendahuluannya itu. Al-Karmani juga berpendapat serupa itu.[32]
Para mufassir juga berbeda pendapat tentang penempatan kalimat (انّ
الله) di dalam ayat kedua, dan
ditiadakannya pada ayat pertama.
a) Kata al-Iskafi, hal itu
disebabkan karena ayat pertama berkenaan dengan perang Uhud yang terjadi
sesudah perang Badar. Oleh karenanya, di sini tidak lagi diperlukan kalimat mu’akkadat
seperti itu sebab sebelumnya sudah diungkapkan dalam ayat yang menyangkut
dengan perang Badar sebagaimana tampak dengan jelas di dalam ayat kedua.
Al-Karmani juga sependapat dengan al-Iskafi dalam kasus ini.
b) Menurut Abu Hayyan,
perbedaan itu timbul karena memelihara agar akhir ayat itu serasi dengan
ayat-ayat lain.
c) Al-Biqa’i menemukan
perbedaan itu bukan dari sudut keserasian susunan ayat, melainkan dari konteks
ayat tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Iskafi. Menurut al-Biqa’i
dicantumkannya kalimat (انّ الله) di dalam ayat kedua itu sesuai
dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh umat Islam waktu itu yang masih
lemah. Agar keyakinan mereka tidak goyah, Allah menegaskan dengan
sungguh-sungguh bahwa Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana dengan
menggunakan huruf Ta’kid (انّ) sehingga ujung ayat kedua itu
berbunyi (إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ). Sedangkan pada ayat pertama
tidak perlu diberi ta’kid karena kondisi umat Islam telah kuat dan telah
banyak mendapat pengalaman dari perang-perang sebelumnya.[33]
BAB IV
PENUTUP
A.Simpulan
1.
Perbandingan kedua redaksi pada Ali Imran Ayat 126 dan surat Al-Anfal Ayat 10 jelas terlihat
kemiripannya. Namun di dalam kemiripan itu terdapat perbedaan kecil dari sudut
susunan kalimatnya. Paling tidak ada tiga hal yang membedakan redaksi ayat
pertama dari redaksi ayat kedua.
a) Pada surat Ali
Imran Ayat 126 terdapat lafal (لَكُمْ) sesudah lafal (بُشْرى); dan pada surat
Al-Anfal Ayat 10 tidak dijumpai lafal (لَكُمْ).
b) Pada surat
Al-Anfal Ayat 10 ditempatkan (إِنَّ اللهَ)
sesudah (مِنْ عِنْدِاللهِ);
sedangkan ayat pertama tidak memakainya.
c) Perbedaan ketiga tampak
dalam pemakaian kalimat (بِهِ). Kalau pada surat Ali Imran Ayat 126 kalimat tersebut
ditempatkan sesudah (قُلُوْبُكُمْ), maka pada surat Al-Anfal Ayat 10 tempatnya sebelum (قُلُوْبُكُمْ) itu.
2. Perbandingan ulama
terlihat ketika para mufassir berselisih pendapat terhadap penempatan kalimat (به). Pada ayat pertama kalimat (به) itu terletak sesudah (قلوبكم)
sementara pada ayat kedua sebelumnya. Kata
al-Iskafi, perbedaan itu timbul karena mengikuti pola kalimat sebelumnya. Pada
ayat pertama ada ungkapan (بشرى لكم) sebelumnya, di mana kalimat (لكم) terletak sesudahnya (بشرى). Supaya susunan ayat itu serasi, maka pada redaksi berikutnya
kalimat (به) ditempatkan pula (قلوبكم). Adapun penempatan (به) sebelum (قلوبكم) di dalam ayat kedua agar mendapat perhatian
yang lebih serius dari mukhthabin (para komunikan) bahwa bantuan Allah
itu pasti datang untuk menggembirakan dan menentramkan hati mereka dalam
menghadapi musuh. Menurut Abu Hayyan ditempatkannya kalimat (به) sebelum (قلوبكم) pada ayat pertama dan sesudahnya pada ayat
kedua, ailah untuk tafannun wa al-ittisa fi al-kalam (mewujudkan rasa
seni dan keluasan dalam berbahasa). Al-Biqa’i pada pokoknya sependapat dengan
al-Iskafi dalam hal ini sekalipun penjelasannya lebih rinci daripada uraian
pendahuluannya itu. Al-Karmani juga berpendapat serupa itu
B.
Saran
Dengan terselesaikannya penulisan skripsi ini, berharap agar
skripsi ini dapat dikaji ulang sebagai bahan penelitian lebih lanjut tentang muqaranah ayat-ayat zaidah dan nuqshan
Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah
dorongan kepada manusia
khususnya pakar penelitian untuk lebih semangat menelititi keilmuan-keilmuan agama
khususnya ilmu alquran. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menambah pengetahuan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
al-Farmâwi, Abd. Hayy. 1994. Metode Tafsir Maudhu`I; Sebuah Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
al-Aridl, Ali Hasan. 1994. Sejarah dan Metologi Tafsir. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Haryono, M. Yudhie. 2002. Nalar
Al-Qur’an. Jakarta: Nalar.
as-Shobuni,
Muhammad ‘Ali.1985. At-Tibyan fi 'Ulumil Quran. Bairut :
'Alimul Kitab.
Baidan, Nashruddin. 2002. Metodologi
Penafsiran al-Qur`an. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
. . . . . . . . . . . . . . . . . 2000. Metodologi
Penelitian al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Saleh, Ahmad
Syukri. 2007. Melacak Metodologi tafsir al-Qur’an. Innovatio, Vol. 6, No. 12, Edisi Juli-Desember.
Salma, Muhammad Abu. 2009. Sejarah Tafsir dan Perkembangannya. Artikel Islam House.com.
Sanaky, Hujair
A. H. Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin). al-Mawarid, edisi XVIII, 2008.
Shihab, Quraish. 1996. Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat . Bandung: Mizan.
. . . . . .. . . . . .. 2000. Tafsir al-Misbah;
Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an. Ciputat: Lentera Hati.
[1]
Muhammad Abu Salma, Sejarah Tafsir dan Perkembangannya (Artikel Islam
House.com, 2009), 3.
[2]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), 1.
[5]
Ahmad Syukri Saleh, Melacak Metodologi tafsir al-Qur’an (Innovatio, Vol.
6, No. 12, Edisi Juli-Desember 2007), 288.
[6]
Hujair A. H. Sanaky, Metode Tafsir [Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna atau Corak Mufassirin]
(al-Mawarid, edisi XVIII, 2008), 60.
[7]
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan,1996), 118
[9]
Nasrudddin Baidan, Metodologi Penelitian al-Qur’an (Jakarta: 2000,
Pustaka Pelajar), 65.
[10]
Abd. Hayy al-Farmâwi, Metode Tafsir Maudhu`I; Sebuah Pengantar,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), 30-31
[11] Ahmad
Syukri Saleh, Melacak Metodologi tafsir al-Qur’an (Innovatio, Vol. 6,
No. 12, Edisi Juli-Desember 2007), 292.
[12] Ali
Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metologi Tafsir (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994), 76.
[22]
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), 83.
[23] Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, (Ciputat:
Lentera Hati, 2000), 194.
[27]
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), 194-195
Tidak ada komentar:
Posting Komentar