Selasa, 04 Desember 2012

GALAU



Hatiku tambah kecil
Ketika kau mengabaikanku
Ketika kau Menelantarkanku
Dalam kesendirian

Inginku pergi darimu
Menjauh dari kehidupanmu
Tapi apalah daya
Hati ini sudah terpikat olehmu




Sabtu, 01 Desember 2012

Aku, kau dan dia



Aku memang tak pantas mendapatkanmu
Aku tak seperti yang kau harapkan
Aku tak bisa membahagiakanmu
Dan aku tak seperti dia

Dia lebih mengerti kamu
Dia lebih memahami kamu
Dia bisa membahagiakanmu
Dan dia adalah yang kau harapkan

Aku rela kau pergi dariku
Jika dia bisa memberimu kebahagiaan lebih
Silahkan pergi bersamanya
Tuk selamanya. . .

Jumat, 30 November 2012

Muqaranah Ayat-Ayat Zaidah dan Nuqshan


MUQARANAH AYAT-AYAT ZAIDAH DAN NUQSHAN
DALAM SURAT ALI IMRAN AYAT 126 DAN  AL-ANFAL AYAT 10

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan
Metodologi Penelitian tafsir





Description: Description: C:\Documents and Settings\USER.USER-CD0A49D5F4\My Documents\IAIN CL_1.jpg










Oleh:
SU’UDI
NIM    E53210072
           
           
Dosen Pengampu:
DRS. H. ACHMAD CHOLIL ZUHDI, M.AG
NIP: 195009211988031001


FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2012
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah Swt, dengan rahmat, taufiq, hidayah dan inayahNya, penulis sampaikan kepada Allah Swt karena atas rahmat dan hidayahNya, perencanaan dan penulisan makalah ini dapat terlaksana dengan lancar. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kehadirat Nabi Muhammad SAW, semoga syafaatnya senantiasa terlimpahkan pada kita umatnya semua. Seiring dengan itu, penulis sangat berterima kasih kepada kedua orang tua atas segala pengorbanan dan doa restunya.
Kesuksesan ini dapat penulis peroleh juga karena dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis menyadari dan menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada bapak Drs. H. Achmad Cholil Zuhdi, M.Ag. selaku dosen pengampu dan pembimbing dalam penyusunan skripsi ini, serta mahasiswa Tafsir Hadis kelas C yang memberi inspirasi dan dukungan pada penulis.
Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini masih terlalu jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap saran dan kritik dari para pembaca. Semoga saran dan kritik pembaca dicatat sebagai pahala orang yang saling menasehati dalam kebenaran.
Akhirnya semoga segala amal baik kita semua mendapatkan ridho dan balasan Allah SWT. Serta skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Surabaya, Oktober 2012
     

Penulis






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................       i
DAFTAR ISI......................................................................................................      ii

BAB I       :  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang .......................................................................................      1
B.     Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah.............................................      2
C.     Rumusan Masalah...................................................................................      3
D.    Tujuan Penelitian ....................................................................................      3
E.     Manfaat Penelitian..................................................................................      3
F.      Tinjauan Pustaka.....................................................................................      3
G.    Out Line..................................................................................................      4

BAB  II     :  PEMBAHASAN
A.    Pengertian...............................................................................................      6
B.     Ruang Lingkup Metode Tafsir Muqaran................................................      8
C.     Kelebihan dan Kekurangan Metode Muqaran........................................    13

BAB III     :  MUQARANAH DALAM SURAT ALI IMRAN AYAT 126 DAN AL-ANFAL AYAT 10
A.    Berlebih dan Berkurang (Ziyadat wa Nuqshan)......................................    14
B.    Contoh Muqaranah ayat Ziyadah dan Nuqshan.....................................    15
C.    Perbandingan Redaksi yang Mirip .........................................................    15
D.    Analisis Redaksi yang Mirip...................................................................    16
E.     Perbandingan Pendapat para Mufassir....................................................    18

BAB  IV    :  PENUTUP
A.    Simpulan.................................................................................................    23
B.     Saran.......................................................................................................    24



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Alquran diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat alquran. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan alquran dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam alquran, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan alquran,[1] karena manusia diturunkan ke dunia ini tanpa dibekali ilmu pengetahuan, baik untuk kepentingan dirinya maupun pihak lain di luar dirinya.[2]
Sedangkan fungsi alquran sangat penting bagi manusia di dunia ini untuk menuntun kehidupan mereka ke jalan yang benar demi memperoleh kebahagiaan yang abadi kelak di akhirat. Barang siapa yang berpegang teguh kepadanya niscaya tidak akan sesat selama-lamanya sebagaimana disabdakan Nabi saw yang diriwayatkan Al-Hakim dari Abu Hurairah
تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتي ...
Saya telah meninggalkan dua pusaka kepadamu. Kamu tidak akan sesat selama keduanya (dijadikan pedoman), yaitu kitab Allah dan sunnahku.

Untuk menjadikan alquran sebagai pedoman diperlukan pemahaman yang benar. Padahal memahami alquran tidaklah mudah. Untuk memperoleh penafsiran yang benar tidak cukup dengan menguasai Bahasa Arab secara baik, melainkan perlu pula pengetahuan yang konfrehensif tentang kaedah-kaedah yang berhubungan dengan IlmuTafsir. Selain itu musafir harus membebaskan dirinya dari segala bentuk keyakinan dan sifat-sifat tercela.[3]
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang tergolong belum matang, sehingga selalu terbuka untuk dikembangkan. Setiap periode memiliki perkembangan sampai saat ini. Meskipun sama-sama berusaha mengungkapkan makna alquran, masing-masing menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda-beda. Sehingga tidaklah mengherankan ketika metode yang digunakan oleh para ulama dalam penafsiran alquran juga mengalami perkembangan yang dinamis dari zaman ke zaman. Motode-motode itu berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran, peradaban manusia dan juga masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, perkembangan itu juga terjadi karena kebutuhan manusia akan metode baru sebagai akibat perkembangan zaman tidak terelakkan.[4]
Dalam kaitan ini, setidaknya ada empat buah metode tafsir yang populer dan mewarnai karya tafsir dari yang klasik hingga modern, yaitu metode ijmali (global), tahlili (analitis), muqaran (perbandingan) dan maudlu’i (tematik).[5]
Namun yang akan menjadi pembahasan dalam skripsi ini adalah mengenai perbandingan (muqaranah) ayat-ayat yang berlebih dan berkurang (zaidah wa nuqshan).
B.   Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi bahwa penafsiran alquran para ulama baik dari abad klasik sampai abad modern itu tidak lepas dari beberapa metode tafsir yang sampai saat ini popular, yaitu metode ijmali, tahlili, muqaran dan maudhu’i.
Sedangkan dalam metode muqaran hanya membahas tiga aspek, yaitu perbandingan ayat dengan ayat, perbandingan ayat dengan hadis dan perbandingan para mufassir. Namun dalam penulisan skripsi ini penulis hanya akan membatasi pada pembahasan perbandingan (muqaranah) ayat-ayat yang berlebih dan berkurang (zaidah wa nuqshan).

C.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang, identifikasi masalah dan batasan masalah di atas perlu adanya fomulasi rumusan masalah agar memudahkan dalam pengimplementasian penelitian sebagaimana berikut:
1.    Bagaimana perbandingan redaksi yang mirip pada surat Ali Imran ayat 126 dan al-Anfaal ayat 10?
2.    Bagaimana perbandingan pendapat para mufassir tentang redaksi yang mirip pada surat Ali Imran ayat 126 dan al-Anfaal ayat 10?
D.  Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian perbandingan (muqaranah) ayat-ayat yang berlebih dan berkurang (zaidah wa nuqshan) adalah:
1.    Untuk mendeskripsikan perbandingan redaksi yang mirip pada surat Ali Imran ayat 126 dan al-Anfaal ayat 10.
2.    Untuk menjelaskan perbandingan pendapat para mufassir tentang redaksi yang mirip pada surat Ali Imran ayat 126 dan al-Anfaal ayat 10.
E.  Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memahami dan membandingkan redaksi yang mirip pada surat Ali Imran ayat 126 dan al-Anfaal ayat 10. Karena redaksi alquran yang berlebih atau berkurang itu tidaklah bersifat positif atau negatif, melainkan tersimpan suatu pesan yang ingin disampaikan di dalam masing-masing redaksi itu.

F.   Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini terdapat beberapa referensi yang berkaitan dengan muqaranah ayat-ayat zaidah dan nuqshan.
1.    Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
2.    Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000).
3.    Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metologi Tafsir (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994),
G. Out Line
Untuk lebih memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulisan ini disusun atas empat bab sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
C.     Rumusan Masalah
D.    Tujuan Penelitian
E.     Manfaat Penelitian
F.      Tinjauan Pustaka
G.    Out Line
BAB II METODE TAFSIR MUQARAN
A.    Pengertian
B.     Ruang Lingkup Metode Tafsir Muqaran
C.     Kelebihan dan Kekurangan Metode Muqaran
BAB III Muqaranah Ayat-Ayat Ziyadat Dan Nuqshan Dalam Surat Ali Imran Ayat 126 Dan Al-Anfal Ayat 10
A.    Berlebih dan Berkurang (Ziyadat wa Nuqshan)
B.     Contoh Muqaranah Ayat Ziyadah dan Nuqshan
C.     Perbandingan Redaksi yang Mirip
D.    Analisis Redaksi Yang Mirip
E.     Perbandingan Pendapat para Mufassir

BAB IV PENUTUP
A.    KESIMPULAN
B.     SARAN


BAB II
METODE TAFSIR MUQARAN
A.  Pengertian
Tafsir muqarin adalah penafsiran sekolompok ayat alquran yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antara ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.[6]
Quraish Shihab mendefinisikan tafsir muqâran sebagai: "Membandingkan ayat-ayat alquran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama.”[7]
Dari beberapa pengertian yang dipaparkan di atas, maka terlihat bahwa tafsir metode muqâran adalah:
Satu, membandingkan ayat dengan ayatDua,membandingkan ayat alquran dengan hadits. Tiga, membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan alquran. Metode ini diharapkan dapat melahirkan pemahaman komprehensif terhadap ayat-ayat alquran.[8]
Tafsir alquran dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas. Ruang lingkup kajian dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada yang berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang dikandungnya. Maka, M. Quraish Shihab, menyatakan bahwa ”dalam metode ini khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat [juga ayat dengan hadis]... biasanya mufassirnya menejelaskan hal-hal yang berkaitan denagan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus masalah itu sendiri.[9]
'Abd Al-Hayy al-Farmâwi juga mengungkapkan bahwa perbandingan juga bisa dilakukan lintas kecenderungan penafsir; seperti membandingkan penafsiran mereka yang dipengaruhi oleh semangat kesyi'ahan, ketashawwufan, kemu`tazilahan, keas`ariyahan, dan selainnya, serta kecenderungan yang dipengaruhi oleh disiplin ilmu yang dikuasai seorang penafsir. Sebagai contohnya adalah penafsir yang menitikberatkan pembahasan pada bidang nahwu (gramatika bahasa Arab) sebagaimana al-Zamakhsyarî dalam al-Kassyâf, bidang filsafat seumpama Imam al-Fakhruddîn al-Râzy dalam al-Tafsîr al-Kabîr, atau bidang fiqih seperti al-Qurthuby dalam al-Jâmi` li al-Ahkâm al-Qur'an.[10] begitu pula karya tafsir yang menerapkan metode ini adalah Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil karya al-Iskafi (w. 240 H), dan al-Burhan fi Taujih Mutasyabah al-Qur’an karya al-Karmani (w. 505/1111).[11]
Mufassir dengan metode muqaran dituntut mampu menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang ia kemukakan untuk kemudian mengambil sikap menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh rasionya serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya, sehingga pembaca merasa puas.[12]
B.  Ruang Lingkup Metode Tafsir Muqaran
Berikut ini penulis akan menguraikan ruang lingkup dan langkah-langkah penerapan metode tafsir muqâran pada masing-masing aspek:
1)   Perbandingan Ayat Dengan Ayat
Contohnya pada ayat 151 Surat al-An’am dengan ayat 31 Surat al-Isra.
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.[13]
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.[14]
Kasus kedua ayat ini sama, yakni larangan membunuh anak-anak karena alasan kemiskinan. Tapi, pada penelitian lebih lanjut, tampak adanya perbedaan dari segi mukhathab (sasaran pembicaraan). Mukhathab pada ayat pertama adalah orang miskin, sehingga digunakan redaksi yang berarti karena alasan kemiskinan, atau tegasnya karena “kalian miskin”. Sementara mukhathab pada ayat kedua adalah orang kaya, yang berarti takut menjadi miskin. Artinya, pada saat itu mukhathab sudah kaya. [15]
Selanjutnya, pada ayat pertama, dhamir mukhatab didahu-lukan dengan maksud untuk menghilangkan kekhawatiran si mis-kin bahwa ia tidak akan mampu memberikan rizki kepada anak-nya: yakni, Allah akan memberikan rizki kepadanya agar ia mam-pu menafkahi anaknya. Maksud ayat akan menjadi lebih jelas jika dibandingkan dengan ayat kedua. Di sini dhamir anak-anak muk-hatab didahulukan untuk memperingati si kaya bahwa Allah yang memberi rizki kepada anak-anak itu, dan bukan si kaya. Kesimpulannya, yang satu bersifat menumbuhkan keyakinan, sementara yang satu bersifat memberi peringatan.[16]
2)   Perbandingan Ayat dan hadis
Tentunya, yang sepadan untuk dibandingkan dengan ayat al-Qur'an adalah hadits yang berkualifikasi shahîh, sehingga hadits dha`i f tidak perlu dijadikan perimbangan dengan ayat al-Qur'an. Salah satu contoh adalah sabagai berikut:
a)      Alquran
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ. إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.[17]
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun". [18]
b)    Hadis
ما أفلح قوم و لوا أمرهم امراة
Tidak pernah beruntung suatu bangsa  yang menyerahkan semua urusan mereka kepada wanita.
Jika diperhatikan secara sepintas, teks hadits di atas bertentangan dengan kedua ayat terdahulu karena alquran menginformasikan keberhasilan Ratu Balqis memimpin negaranya, Saba'. Sebaliknya, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan ketidaksuksesan sebuah negara (manapun) yang diperintah oleh perempuan. Dengan demikian, perempuan diposisikan pada kedudukan tidak seimbang dengan laki-laki. Padahal -kecuali Balqis- sejarah dunia dan sejarah peradaban Islam mencatat tokoh-tokoh perempuan yang sukses memimpin negara, semisal Syajarat al-Durr, pendiri kerajaan Mamluk yang memerintah wilayah Afrika Utara sampai Asia Barat (1250-1257 M).[19]
Untuk mengkomparasi dan mengkompromikan kedua teks tersebut diperlukan kepastian akan kualifikasi hadits tersebut karena ayat tidak diragukan lagi keotentikannya. Setelah itu dilihat asbâb al-wurûd hadits tersebut. Pada kasus hadits ini, asbâb al-wurûd-nya adalah saat Rasulullah mendengar berita bahwa puteri Raja Persia dinobatkan menjadi ratu menggantikan ayahnya yang mangkat. Berdasarkan itu, tidak mengherankan jika pemahaman bahwa perempuan tidak pas memimpin negara muncul ke permukaan. Namun jika dipakai kaidah العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب maka akan dijumpai pemahaman lain.
Melalui analisis kaidah itu terhadap hadits tersebut, maka akan ditemui bahwa kata قوم - امراة dibentuk dalam format nakirah(indefinite). Itu berarti bahwa yang dimaksud oleh kata-kata itu adalah semua kaum, semua perempuan, dan semua urusan. Jadi, terjemahan dari hadits tersebut (kira-kira) berbunyi: "Suatu bangsa tidak pernah memperoleh sukses jika semua urusan bangsa itu diserahkan (sepenuhnya kepada kebijakan) wanita sendiri (tanpa melibatkan kaum pria)". Jika dipahami demikian, maka jelas bahwa sangat wajar kalau suatu bangsa tidak akan sukses kalau semua bidang yang ada dalam bangsa tersebut ditangani mutlak oleh perempuan tanpa sedikit pun melibatkan laki-laki karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki keterbatasan-keterbatasan yang jika digabungkan akan terjalin kerja sama yang baik.
c)         Perbandingan Pendapat Mufassir
Pada kesempatan lain, Quraish Shihab mempraktikkan metode muqâran dengan membandingkan pendapat beberapa mufassir seperti saat الم. Menurutnya, mayoritas ulama pada abad ketiga menafsirkannya dengan ungkapan: الله أعلم. Namun setelah itu, banyak ulama yang mencoba mengintip labih jauh maknanya. Ada yang memahaminya sebagai nama surat, atau cara yang digunakan Allah untuk menarik perhatian pendengar tentang apa yang akan dikemukakan pada ayat-ayat berikutnya. Ada lagi yang memahami huruf-huruf yang menjadi pembuka surat alquran itu sebagai tantangan kepada yang meragukan alquran. Selain itu, ia juga mengutip pandangan Sayyid Quthub yang kurang lebih mengatakan: "Perihal kemukjizatan alquran serupa dengan perihal ciptaan Allah semuanya dibandingkan dengan ciptaan manusia. Dengan bahan yang sama Allah dan manusia mencipta. Dari butir-butir tanah, Allah menciptakan kehidupan, sedangkan manusia paling tinggi hanya mampu membuat batu-bata. Demikian pula dari huruf-huruf yang sama (huruf hija`iyyah) Allah menjadikan alquran dan al-Furqân. Dari situ pula manusia membuat prosa dan puisi, tapi manakah yang labih bagus ciptaannya?"
Quraish juga menambahkan dengan mengutip pendapat Rasyad Khalifah yang mengatakan bahwa huruf-huruf itu adalah isyarat tentang huruf-huruf yang terbanyak dalam surat-suratnya. Dalam surat al-Baqarah, huruf terbanyak adalah aliflam, dan mim. Pendapat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun Quraish Shihab terlihat masih meragukan kebenaran pendapat-pendapat yang dikutipnya hingga ia mengambil kesimpulan bahwa pendapat yang menafsirkan الم dengan الله أعلم masih relevan sampai saat ini.[20]
C.  Kelebihan dan Kekurangan Metode Muqaran
Sebagai sebuah metode buatan manusia, maka sangat wajar bila metode ini mengandung kekurangan di antara kelebihan-kelebihan yang dipunyainya.
1)   Kelebihan
·         Memberikan wawasan yang relatif lebih luas
·           Membuka diri untuk selalu bersikap toleran.
·         Membuat mufassir labih berhati-hati.
2)   Kekurangan
·         Kurang cocok dengan pemula.
·         Kurang cocok untuk memecahkan masalah kontemporer.
·         Menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufassir.[21]


BAB III
MUQARANAH DALAM SURAT ALI IMRAN AYAT 126 DAN AL-ANFAL AYAT 10

A.  Berlebih dan Berkurang (Ziyadat wa Nuqshan)
Di antara dua redaksi yang bermiripan itu, ada yang mempunyai kata, atau kalimat yang tidak sama jumlahnya, sehingga bila diperbandingkan kedua redaksi tersebut terlihatlah pemakaian kata yang berlebih dan berkurang karena ada kata atau kalimat yang dipakai di dalam suatu redaksi, pada redaksi lain yang mirip dengannya tidak memakai kata atau kalimat itu. Dengan demikian terjadilah apa yang disebut dengan ziyadat wa nuqshan (berlebih dan berkurang) dalam pemakaian kata. Kemiripan redaksi serupa itu banyak dijumpai di dalam alquran.
Term berlebih dan berkurang dalam konteks ini tidak berkonotasi positif dan negatif, melainkan sekedar untuk menggambarkan bahwa antara dua redaksi yang bermiripan itu terdapat sedikit perbedaan redaksional sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan di dalam masing-masing redaksi itu. Itu berarti, sekalipun sebuah redaksi memakai kosakata yang jumlahnya kurang dari redaksi yang lain, namun konotasinya tetap positif. Jadi tidak ada ayat-ayat alquran itu yang bersifat negatif baik pola susunan redaksinya, maupun pemilihan kata dan kandungan maknanya, semuanya bernilai positif sesuai pesan (petunjuk) yang dibawanya.[22]

B.  Contoh Muqaranah Ayat Ziyadah dan Nuqshan
Quraish Shihab mempraktikkan penggunaan metode muqâran dengan membandingkan dua ayat yang mirip secara redaksional, yaitu ayat 126 Surat Ali `Imrân dengan ayat 10 Surat al-Anfâl.[23]
1)   Surat Ali Imran Ayat 126
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِهِ وَمَا النَّصْرُ إِلا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[24]
2)  Surat Al-Anfal Ayat 10
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلا بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ إِلا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[25]
C.  Perbandingan Redaksi yang Mirip
Jika diperbandingkan kedua redaksi ayat di atas jelas terlihat redaksi yang pertama mirip dengan redaksi yang kedua. Namun di dalam kemiripan itu terdapat perbedaan kecil dari sudut susunan kalimatnya. Paling tidak ada tiga hal yang membedakan redaksi ayat pertama dari redaksi ayat kedua.
1)      Pada surat Ali Imran Ayat 126 terdapat lafal (لَكُمْ) sesudah lafal (بُشْرى); dan pada surat Al-Anfal Ayat 10 tidak dijumpai lafal (لَكُمْ).
2)      pada surat Al-Anfal Ayat 10 ditempatkan (إِنَّ اللهَ) sesudah (مِنْ عِنْدِاللهِ); sedangkan ayat pertama tidak memakainya.
3)      Perbedaan ketiga tampak dalam pemakaian kalimat (بِهِ). Kalau pada surat Ali Imran Ayat 126 kalimat tersebut ditempatkan sesudah (قُلُوْبُكُمْ), maka pada surat Al-Anfal Ayat 10 tempatnya sebelum (قُلُوْبُكُمْ) itu. Kasus yang terakhir ini sebenarnya masuk kategori taqdim dan ta’khir, tapi karena kaitannya erat sekali dengan pembahasan ayat ini maka ketiga permasalahan itu akan dikaji di sini.[26]
D.  Analisis Redaksi Yang Mirip
Yang menjadi permasalahan dalam ayat ini ialah, mengapa perbedaan yang disebutkan itu timbul?? Apakah sekedar seni berbahasa, atau dibalik perbedaan itu ada pesan khusus yang dikandungnya.
Jika dilihat dari sudut historis turun ayat, ternyata ayat al-Anfâl disepakati oleh ulama sebagai ayat yang berbicara tentang turunnya malaikat pada Perang Badar. Sedang ayat Ali 'Imran turun dalam konteks janji turunnya malaikat dalam Perang Uhud. Dalam perang tersebut malaikat tidak jadi turun karena kaum muslimin tidak memenuhi syarat kesabaran dan ketakwaan yang ditetapkan Allah ketika menyampaikan janji itu (sebagaimana tersebut di ayat 125).[27]
 Itu berarti masing-masing redaksi mempunyai kasus yang berbeda, sebab situasi dan kondisi yang dihadapi umat Islam dalam kedua peperangan itu tidak sama. Ketika perang Badar misalnya, kaum Muslimin belum sekuat ketika perang Uhud terjadi karena jumlah personil mereka amat kecil (sekitar 300 orang), sebaliknya kekuatan personil musuh lebih tiga kali lipat (sekitar 1000 orang). Disamping kondisi yang demikian, perang Badar ini tercatat sebagi perang pertama dan amat besar, sebelumnya umat Islam belum punya pengalaman dalam peperangan serupa itu. Jadi, secara lahiriah umat Islam berada dalam kondisi yang amat labil jika dibandingkan dengan kondisi mereka pada waktu perang Uhud. Mengingat kondisi yang demikian, maka pada penutup ayat 10 surah Al-Anfal Allah memakai huruf ta’kid (إنَّ) untuk memperkuat keyakinan umat Islam bahwa Allah Yang Maha Perkasa bersama mereka. Sebaliknya, di dalam ayat 126 dari Ali Imran tak diperlukan huruf ta’kid tersebut karena kondisi mereka telah makin baik dan kuat. Jadi, dalam kondisi begini tak diperlukan huruf ta’kid karena kondisi mereka telah makin baik dan kuat. Demikian pula penempatan kalimat (قلوبكم) sebelum (به) memberikan indikasi akan pentingnya menenangkan jiwa mereka; sedangkan di dalam Ali Imran: 126, cukup menempatkannya sesudah (قلوبكم).[28]
Adapun ditempatkannya kalimat (لَكُمْ) secara eksplisit di dalam ayat 126 surat Ali Imran sesuai dengan hasil yang dicapai dalam Perang Uhud. Dimana umat Islam mengalami kekalahan dalam perang tersebut. Namun demikian kegembiraan tetap berada di pihak umat Islam, bukan untuk orang-orang kafir, sekalipun orang-orang kafir menang karena Nabi selamat dan para sahabat terkemuka seperti Abu bakar, Umar, Utsman, Ali dan lain-lainnya masih hidup untuk melanjutkan perjuangan. Sebaliknya di dalam redaksi ayat 10 surah al-Anfal tidak perlu mencantumkan kalimat (لَكُمْ) secara eksplisit, karena bantuan Allah sudah jelas barada di pihak umat Islam, bahkan mereka telah berhasil memenangkan perang.
Dengan uraian itu, jelaslah bahwa masing-masing redaksi mempunyai konteks yang berbeda karena itu pola susunan kalimat dan kata-kata yang digunakan oleh masing-masing redaksi itu harus pula berbeda agar setiap redaksi itu dapat membawa pesan kepada alamatnya secara jitu dan mengenai sasaran yang dimaksud dengan tepat dan akurat.[29]
E.  Perbandingan Pendapat para Mufassir
Boleh dikatakan sangat langka ulama tafsir yang tertarik membahas perbedaan redaksi yang dijumpai di dalam dua ayat yang telah dikutip di muka. Ini terbukti dari 22 kitab tafsir yang diteliti hanya empat buah yang tertarik membicarakannya, dan itu pun kitab-kitab tafsir di abad klasik dulu, yaitu Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil karangan al-Iskafi (w.420 H.), Al-Burhan fi Tawjih Mutasyabih Al-Qur’an karangan al-Karmani (w.505 H.), Al-Bahr al-Muhith karangan Abu Hayyan (w. 754 H.) dan Nazhm Al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, karangan Burhan al-Din al-Biqa’I (w. 885 H.). Jadi tidak sampai 20% dari kitab-kitab itu yang membahasnya. Para ulama tafsir yang tidak membahas perbedaan redaksi itu ialah al-Thabari, Ibn Katsir, al-Zamarkhsyari, al-Khazin, al-Razi, al-Alusi, al-Naysaburi, Abu al-Su’ud, al-Qurtubi, al-Thanthawi, Muhammad Rasyid Ridha, al-Maraghi, dan lain-lain.[30]
Di kalangan ulama tafsir yang membahas perbedaan redaksi dari kedua ayat itu tidak terdapat kesepakatan, karena masing-masing mepunyai kecenderungan yang bebeda. Mengenai pencantuman kalimat (لَكُمْ) dalam ayat 126 surat Ali Imran, dan ditiadakan pada ayat 10 surah al-Anfal, misalnya, terdapat tiga pendapat.
a)    Menurut al-Iskafi, pencantumannya di dalam ayat pertama adalah karena sebelumnya belum disebut, sementara pada ayat kedua tak perlu mengulang penyebutan kalimat itu lagi secara eksplisit karena di dalam ayat sebelumnya sudah dinyatakan (إذَ تَسْتَغِيْثًوْنَ رَبَّكًمْ فَاسْتَجَابَ لَكًمْ). Dengan adanya kata (لَكُمْ) di dalam kalimat (فَاسْتَجَا بَ لَكُمْ) itu, maka tidak perlu diulang lagi pada ayat sesudahnya. Indikasi serupa inilah yang tak dijumpai di dalam ayat 126 surat Ali Imran. Karenanya perlu pencantuman kalimat (لَكُمْ) tersebut di dalamnya. Al-Karmani juga sependapat dengan Al-Iskafi dalam kasus ini.
b)   Abu Hayyan mengemukakan pendapat lain, sebagai dikatakannya: penempatan lafal (لَكُمْ) di dalam ayat 126 surat Ali Imran itu ialah karena alur kisahnya panjang; sebaliknya di dalam ayat10 surah al-Anfal kisahnya diungkapkan secara singkat dan padat. Itulah sebanya pada ayat 126 surat Ali Imran dipakai lafal (لَكُمْ) dan pada ayat 10 surah al-Anfal, tidak. Hal itu dimaksudkan supaya serasi dengan kondisi masing-masing ayat.
c)    Al-Biqa’i mempunyai pendapat yang yang amat berbeda dari dua pendapat sebelumnya. Menurutnya pencantuman kalimat (لَكُمْ) itu berkaitan erat dengan konteks ayat tersebut, yakni berbicara tentang perang Uhud, di mana umat Islam kalah dan orang kafir kalah. Berdasarkan kenyataan itu, seaindainya kalimat (لَكُمْ) tidak disebut secara eksplisit, maka dapat timbul dugaan negative bahwa bantuan Allah ialah untuk memberikan kegembiraan bagi orang-orang kafir. Sedangkan ayat kedua berkenaan perang Badar. Di dalam ayat ini tak perlu pencantuman kalimat (لَكُمْ)  itu karena sudah tidak ragu lagi bahwa kegembiraan berada di pihak umat Islam.[31]
Perbedaan serupa juga terlihat dalam komentar para mufassir terhadap penempatan kalimat (به). Pada ayat pertama kalimat (به) itu terletak sesudah (قلوبكم) sementara pada ayat kedua sebelumnya. Kata al-Iskafi, perbedaan itu timbul karena mengikuti pola kalimat sebelumnya. Pada ayat pertama ada ungkapan (بشرى لكم) sebelumnya, di mana kalimat (لكم) terletak sesudahnya (بشرى). Supaya susunan ayat itu serasi, maka pada redaksi berikutnya kalimat (به) ditempatkan pula (قلوبكم). Adapun penempatan (به) sebelum (قلوبكم) di dalam ayat kedua agar mendapat perhatian yang lebih serius dari mukhthabin (para komunikan) bahwa bantuan Allah itu pasti datang untuk menggembirakan dan menentramkan hati mereka dalam menghadapi musuh. Menurut Abu Hayyan ditempatkannya kalimat (به) sebelum (قلوبكم) pada ayat pertama dan sesudahnya pada ayat kedua, ailah untuk tafannun wa al-ittisa fi al-kalam (mewujudkan rasa seni dan keluasan dalam berbahasa). Al-Biqa’i pada pokoknya sependapat dengan al-Iskafi dalam hal ini sekalipun penjelasannya lebih rinci daripada uraian pendahuluannya itu. Al-Karmani juga berpendapat serupa itu.[32]
Para mufassir juga berbeda pendapat tentang penempatan kalimat (انّ الله) di dalam ayat kedua, dan ditiadakannya pada ayat pertama.
a)    Kata al-Iskafi, hal itu disebabkan karena ayat pertama berkenaan dengan perang Uhud yang terjadi sesudah perang Badar. Oleh karenanya, di sini tidak lagi diperlukan kalimat mu’akkadat seperti itu sebab sebelumnya sudah diungkapkan dalam ayat yang menyangkut dengan perang Badar sebagaimana tampak dengan jelas di dalam ayat kedua. Al-Karmani juga sependapat dengan al-Iskafi dalam kasus ini.
b)   Menurut Abu Hayyan, perbedaan itu timbul karena memelihara agar akhir ayat itu serasi dengan ayat-ayat lain.
c)    Al-Biqa’i menemukan perbedaan itu bukan dari sudut keserasian susunan ayat, melainkan dari konteks ayat tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Iskafi. Menurut al-Biqa’i dicantumkannya kalimat (انّ الله) di dalam ayat kedua itu sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh umat Islam waktu itu yang masih lemah. Agar keyakinan mereka tidak goyah, Allah menegaskan dengan sungguh-sungguh bahwa Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana dengan menggunakan huruf Ta’kid (انّ) sehingga ujung ayat kedua itu berbunyi (إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ). Sedangkan pada ayat pertama tidak perlu diberi ta’kid karena kondisi umat Islam telah kuat dan telah banyak mendapat pengalaman dari perang-perang sebelumnya.[33]

BAB IV
PENUTUP
A.Simpulan
1.    Perbandingan kedua redaksi pada Ali Imran Ayat 126 dan surat Al-Anfal Ayat 10 jelas terlihat kemiripannya. Namun di dalam kemiripan itu terdapat perbedaan kecil dari sudut susunan kalimatnya. Paling tidak ada tiga hal yang membedakan redaksi ayat pertama dari redaksi ayat kedua.
a)      Pada surat Ali Imran Ayat 126 terdapat lafal (لَكُمْ) sesudah lafal (بُشْرى); dan pada surat Al-Anfal Ayat 10 tidak dijumpai lafal (لَكُمْ).
b)      Pada surat Al-Anfal Ayat 10 ditempatkan (إِنَّ اللهَ) sesudah (مِنْ عِنْدِاللهِ); sedangkan ayat pertama tidak memakainya.
c)      Perbedaan ketiga tampak dalam pemakaian kalimat (بِهِ). Kalau pada surat Ali Imran Ayat 126 kalimat tersebut ditempatkan sesudah (قُلُوْبُكُمْ), maka pada surat Al-Anfal Ayat 10 tempatnya sebelum (قُلُوْبُكُمْ) itu.
2.    Perbandingan ulama terlihat ketika para mufassir berselisih pendapat terhadap penempatan kalimat (به). Pada ayat pertama kalimat (به) itu terletak sesudah (قلوبكم)  sementara pada ayat kedua sebelumnya. Kata al-Iskafi, perbedaan itu timbul karena mengikuti pola kalimat sebelumnya. Pada ayat pertama ada ungkapan (بشرى لكم) sebelumnya, di mana kalimat (لكم) terletak sesudahnya (بشرى). Supaya susunan ayat itu serasi, maka pada redaksi berikutnya kalimat (به) ditempatkan pula (قلوبكم). Adapun penempatan (به) sebelum (قلوبكم) di dalam ayat kedua agar mendapat perhatian yang lebih serius dari mukhthabin (para komunikan) bahwa bantuan Allah itu pasti datang untuk menggembirakan dan menentramkan hati mereka dalam menghadapi musuh. Menurut Abu Hayyan ditempatkannya kalimat (به) sebelum (قلوبكم) pada ayat pertama dan sesudahnya pada ayat kedua, ailah untuk tafannun wa al-ittisa fi al-kalam (mewujudkan rasa seni dan keluasan dalam berbahasa). Al-Biqa’i pada pokoknya sependapat dengan al-Iskafi dalam hal ini sekalipun penjelasannya lebih rinci daripada uraian pendahuluannya itu. Al-Karmani juga berpendapat serupa itu

B. Saran
Dengan terselesaikannya penulisan skripsi ini, berharap agar skripsi ini dapat dikaji ulang sebagai bahan penelitian lebih lanjut tentang muqaranah ayat-ayat zaidah dan nuqshan
Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah dorongan kepada manusia khususnya pakar penelitian untuk lebih semangat menelititi keilmuan-keilmuan agama khususnya ilmu alquran. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan manusia.


DAFTAR PUSTAKA
al-Farmâwi, Abd. Hayy. 1994. Metode Tafsir Maudhu`I; Sebuah Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
al-Aridl, Ali Hasan. 1994. Sejarah dan Metologi Tafsir. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Haryono, M. Yudhie. 2002. Nalar Al-Qur’an. Jakarta: Nalar.
as-Shobuni, Muhammad ‘Ali.1985. At-Tibyan fi 'Ulumil Quran. Bairut : 'Alimul Kitab.
Baidan, Nashruddin. 2002. Metodologi Penafsiran al-Qur`an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
. . . . . . . . . . . . . . . . . 2000. Metodologi Penelitian al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Saleh, Ahmad Syukri. 2007. Melacak Metodologi tafsir al-Qur’an. Innovatio, Vol. 6, No. 12, Edisi Juli-Desember.
Salma, Muhammad Abu. 2009. Sejarah Tafsir dan Perkembangannya. Artikel Islam House.com.
Sanaky, Hujair A. H. Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin). al-Mawarid, edisi XVIII, 2008.
Shihab, Quraish. 1996. Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat . Bandung: Mizan.
. . . . . .. . . . . .. 2000. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an. Ciputat: Lentera Hati.




[1] Muhammad Abu Salma, Sejarah Tafsir dan Perkembangannya (Artikel Islam House.com, 2009), 3.
[2] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 1.
[4] Muhammad ‘Ali as-Shobuni, At-Tibyan fi 'Ulumil Quran (Bairut : 'Alimul Kitab, 1985), 157.
[5] Ahmad Syukri Saleh, Melacak Metodologi tafsir al-Qur’an (Innovatio, Vol. 6, No. 12, Edisi Juli-Desember 2007), 288.
[6] Hujair A. H. Sanaky, Metode Tafsir [Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin]  (al-Mawarid, edisi XVIII, 2008), 60.
[7] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan,1996), 118
[8] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 65.
[9] Nasrudddin Baidan, Metodologi Penelitian al-Qur’an (Jakarta: 2000, Pustaka Pelajar), 65.
[10] Abd. Hayy al-Farmâwi, Metode Tafsir Maudhu`I; Sebuah Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), 30-31
[11] Ahmad Syukri Saleh, Melacak Metodologi tafsir al-Qur’an (Innovatio, Vol. 6, No. 12, Edisi Juli-Desember 2007), 292.
[12] Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metologi Tafsir (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 76.
[13] Alquran dan terjemahnya, al-An’am: 151.
[14] Ibid., al-Isra: 31.
[15] M. Yudhie Haryono, Nalar Al-Qur’an (Jakarta: Nalar, 2002),170.
[16] Ibid.,171.
[17] Alquran dan Terjemahnya,al-Qashas: 22-23.
[18] Ibid.,Saba’: 15.
[19] Baidan, Metodologi Penafsiran. . ., 94-100.
[20] Shihab, Tafsir al-Misbah. . ., 83-84.
[21] Baidan, Metodologi Penafsiran. . ., 142-144.
[22] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 83.
[23] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), 194.
[24] Alquran dan Terjemahnya, Ali Imran: 126.
[25] Ibid., al-Anfal: 10.
[26] Baidan, Metode Penafsiran. . ., 174.
[27] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), 194-195
[28] Ibid., 174-176.
[29] Ibid., 176-177.
[30] Ibid., 177-178.
[31] Ibid., 178-180.
[32] Ibid., 180-181.
[33] Ibid., 181-182.